Ahlan Wa Sahlan

IQRO ( BACALAH )

Bacalah dirimu, Bacalah dari apa engkau dijadikan

Bacalah kejadian demi kejadian, Bacalah masa lalu, dan apa-apa yang ditinggalkan, Bacalah masa kini, dan apa-apa yang ada disekitarmu, Bacalah masa yang akan datang dan apa-apa yang akan dan tentu terjadinya.

Sungguh ALLOH telah memberimu berlimpah-limpah, dan tegak kanlah kebenaran itu dengan daya juang yang tak kenal payah dan henti ( sabar),......................

Selamat datang ana ucapkan kepada akhi dan ukhti, semoga apa yang tertulis di blog ini bermanfaat bagi kita dalam menSyiarkan Islam, serta sebagai media bagi kita untuk saling bersilaturahmi.

Kritik dan saran dapat di sampaikan ke is.majid@gmail.com

Wassalam

AddThis

Bookmark and Share

Senin, 21 Januari 2008

Malu Adalah Hakikat Kehidupan

Sifat malu merupakan hal yang secara turun-temurun menjadi syari’at yang disampaikan oleh para Nabi yang terdahulu sampai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perhatikanlah sabda Rosul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Mas’ud berikut ini:

“Sesungguhnya di antara nasehat yang didapatkan orang-orang dari sabda nabi-nabi terdahulu: “Apabila tidak memiliki rasa malu, maka berbuatlah sekehendakmu.” (HR. Bukhori: 3483)

Kalau begitu, betapa malu itu sangat urgen dalam kehidupan seseorang, atau bahkan ia merupakan hal yang tidak boleh hilang dari kehidupan seseorang. Sebab hal yang secara turun-temurun diajarkan apalagi oleh para nabi tentunya sangat penting. Malu adalah hakikat kehidupan, itulah sebabnya malu itu sedemikian mulia dan diprioritaskan dalam ajaran para nabi.

Definisi Malu

Kata malu dalam bahasa Arab berasal dari kata haya yang artinya hidup. Adapun menurut istilah yang disimpulkan oleh para ulama, malu itu adalah sebuah akhlak atau perangai yang memberikan motivasi kepada orang yang memilikinya untuk meninggalkan segala keburukan, dan akan membentengi dirinya dari kecerobohan dalam menunaikan hak kepada para pemilik hak tersebut. (Fathul Bari 1/68)

Pembagian Malu

Malu itu ada dua bagian utama, pertama malu jibliyyah atau tabiat. Artinya ia adalah malu yang Alloh telah anugerahkan kepada seorang hamba dan menjadikannya sebagai sifat kemanusiaan hamba tersebut. Kedua adalah malu muktasabah (yang diusahakan adanya). Yakni malu yang timbulnya disebabkan pengetahuan dan pengenalan seseorang terhadap Alloh, dia mengetahui akan kebesaran-Nya, dia mengetahui bahwa Alloh selalu memperhatikannya begitu seterusnya. Maka malu ini merupakan derajat iman paling tinggi.

Malu bila dilihat dari wujud kemunculannya pada seseorang juga terdiri dari dua, yakni malu yang terpuji dan malu yang tercela. Malu yang terpuji adalah malu yang tersebut di atas, yaitu sesuatu yang menjadi pendorong untuk berbuat kebaikan dan membentengi diri dari berbuat keburukan.

Malu yang tercela ialah malu yang justru menjadi penghalang bagi seseorang dalam melakukan kebaikan, seperti malu dalam mencari ilmu, malu bertanya tentang perkara yang ia tidak tahu, malu mengamalkan sunnah, dan malu untuk menempuh semua ketaatan. Malu seperti ini bukanlah malu yang sebenarnya, namun ia sekedar jerat-jerat setan yang menjauhkan seseorang dari Alloh.

Bentuk-bentuk Malu yang Tercela

a. Malu dalam mencari ilmu

b. Malu bertanya perkara yang tidak tahu

Oleh sebab itu, Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshor, rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memahami agama (tidak menghalangi mereka untuk bertanya).” (Fathul Bari 1/351)

Imam Mujahid rahimahullah berkata: “Tidak akan mempelajari ilmu orang yang malu dan sombong.” (Fathul Bari 1/351)

c. Malunya seorang wanita untuk mengenakan jilbab

Banyak kaum wanita hari ini yang merasa malu bila mengenakan jilbab. Padahal wanita yang memiliki rasa malu tidak akan rela jika auratnya terbuka, karena aurat adalah sesuatu yang menimbulkan seseorang merasa malu. Apabila seorang wanita sudah tidak lagi merasa malu ketika terlihat auratnya maka secara otomatis hilanglah hakikat kehormatannya.

d. Malunya seseorang untuk meninggalkan adat kebanyakan orang (yang bertentangan dengan Islam).

e. Malunya seorang wanita apabila tidak berkarir dan tidak bekerja di luar rumah.

f. Malunya seorang wanita bila tidak “gaul”, yakni bebas bergaul dengan siapa saja dan dengan pergaulan macam manapun, termasuk bergaul dengan laki-laki (yang bukan mahrom).

Ciri-ciri malu yang terpuji

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkannya dalam sabda beliau:

Dari Abdullah bin Mas’ud rahimahullah berkata: Nabi bersabda, “Malulah kalian dari Alloh dengan sebenar-benarnya malu.” Maka kami berkata: “Wahai Rosululloh, sesungguhnya kami malu.” Nabi menjawab: “Bukan begitu, tapi malu dari Alloh dengan sebenar-benarnya malu adalah engkau menjaga kepala dan apa yang ia kumpulkan, menjaga perut dari apa yang ia cakup, dan mengingat kematian. Barangsiapa yang menginginkan kehidupan akhirat maka hendaklah ia meninggalkan gemerlapan dunia, dan barangsiapa yang melakukan ini semua berarti dia telah malu kepada Alloh dengan sebenar-benar malu.” (HR. Tirmidzi: 2575 dan dishohihkan oleh al-Bani dalam Shohih Sunan at-Tirmidzi 2/590)

Dari hadits Rosululloh tersebut setidaknya terdapat empat komponen utama seseorang bisa memiliki malu yang terpuji, malu yang sesungguhnya, yaitu:

Pertama, menjaga kepala dan apa yang dikumpulkan. Maksudnya adalah menjaga pendengaran, penglihatan, dan lisan dari setiap yang diharamkan oleh Alloh.

Kedua, menjaga perut dari apa yang ia cakup. Maksudnya adalah menjaga hati untuk tidak terus-menerus melaksanakan apa yang telah diharamkan Alloh. Juga mengandung arti untuk tidak memasukkan hal-hal yang haram dari makanan dan minuman ke dalam perut. Menjaga lisan dan juga menjaga kemaluan adalah perkara besar yang wajib dijaga dari apa yang dilarang Alloh.

Ketiga, mengingat kematian.

Keempatnya adalah meninggalkan gemerlapnya dunia.

Rasa malu merupakan roh bagi hidup sebab diantara ciri yang khusus bagi manusia adalah rasa malu. Malu adalah yang menjadi motivasi pada setiap kebaikan, penghalang dari setiap keburukan. Baragsiapa yang diangkat rasa malunya, dia ibarat hidup hanya dengan tulang-belulang dan daging tanpa roh, laksana binatang, mereka melakukan apa saja yang dikehendakinya. Apabila rasa malunya hidup maka hidup pula rohnya.

“Al-Haya (malu) berasal dari hayat (hidup). Hujan dinamakan hayan dikarenakan dengan air hiduplah bumi, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Demikian juga malu, dinamakan hidup sebab dia adalah hakikat kehidupan dunia dan akhirat. Barangsiapa yang tidak memiliki rasa malu maka dia mati di dunia dan mendapat kecelakaan di akhirat.” (Ibnul Qoyyim dalam ad-Da’wa Dawa’: 96)

diringkas dari “Malu adalah Hakikat Kehidupan” oleh ust. Abu Qotadah, Majalah Al-Mawaddah Edisi I Tahun ke-1 (1428/2007).

0 Comments: