Ahlan Wa Sahlan

IQRO ( BACALAH )

Bacalah dirimu, Bacalah dari apa engkau dijadikan

Bacalah kejadian demi kejadian, Bacalah masa lalu, dan apa-apa yang ditinggalkan, Bacalah masa kini, dan apa-apa yang ada disekitarmu, Bacalah masa yang akan datang dan apa-apa yang akan dan tentu terjadinya.

Sungguh ALLOH telah memberimu berlimpah-limpah, dan tegak kanlah kebenaran itu dengan daya juang yang tak kenal payah dan henti ( sabar),......................

Selamat datang ana ucapkan kepada akhi dan ukhti, semoga apa yang tertulis di blog ini bermanfaat bagi kita dalam menSyiarkan Islam, serta sebagai media bagi kita untuk saling bersilaturahmi.

Kritik dan saran dapat di sampaikan ke is.majid@gmail.com

Wassalam

AddThis

Bookmark and Share

Selasa, 13 Mei 2008

Tenteram,…Indikasi Kebenaran ??!

Perkembangan tehnologi semakin canggih menghiasi keberadaan dunia ini. Dari yang sederhana hingga yang rumit, seolah terjawab oleh arus tehnologi terkini. Jarak yang dulu dianggapnya jauh kini bisa ditempuh dengan hitungan jam. Peristiwa di belahan dunia lain bisa langsug diketahui oleh lainnya dalam sekejap. Pekerjaan yag memerlukan banyak tenaga manusia, dengan perlengkapan teknologi dapat diselesaikan secara cepat oleh satu atau dua orang saja. Bahkan kini keperluan rumah tangga pun diupayakan bisa dilayani robot. Apa yang diinginkan hanya dengan bicara, robot bisa menyediakan. Seolah, apapun yang diinginkan manusia dengan mudah memenuhinya.

Meski begitu , apakah segala pemenuhan ini dapat memberikan kepuasan dan ketentraman.? Apakah peradaban ini bisa memberi ketenangan ? Dalam banyak kasus tak sedikit manusia kemudian lari dari dunia. Perkembangan global tak bisa menjawab kebutuhan ruhiyah. Hingga kemudian, manusia mencari jalan alternatif, sarana yang bisa mendatangkan ketenangan, ketentraman, semisal olah nafas, kontemplasi atau lainnya. Bahkan aktifitas semacam ini diklaim mampu menyembuhkan bukan saja pemenuhan kepuasan bathiniyyah, tetapi konon mampu menyembuhkan penyakit pada umumnya. Orang menyebutnya sebagai pengobatan alternatif. Dengan hasilnya yang nampak, kemudian menjadi justifikasi kebenaran kandungan aktifitas dan substansi amaliyah tersebut. Bagaimana kita memahami persoalan ini ?

Berikut kami angkat sebuah naskah yang ditulis oleh Al Ustadz Ahmas Fais Asifudin, semoga kita dapat mengambil manfaatnya.

Apakah kegiatan atau perbuatan yang mendatangkan ketentraman dihati merupakan indikasi benarnya apa yang dilakukan ? Terdapat satu ayat didalam Al Qur’an yang menegaskan, dzikrullah (berdzikir kepada Allah, mengingat Allah) dapat menentramkan hati. Allah ta’ala berfirman :

الَّذِينَ آمَنُواْ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللّهِ أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram (Ar Ra’d 28)

Berkaitan dengan ayat ini Imam Ibu Katsir menjelaskan :

“ Maksudnya, hati akan menjadi baik dan menjadi senang ketika menuju ke sisi Allah ta’ala. Hati menjadi tenang ketika mengingat Allah, dan hati merasa puas ketika merasa bahwa Allah adalah Pelindung dan penolongnya” (lihat Tafsir ibnu Katsir)

Sementara , Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di mengatakan :

“Nyatalah, hanya dengan berdzikir mengingat Allah (hati menjadi tentram) dan sewajarnyalah hati tidak akan tentram terhadap sesuatupun kecuali dengan mengingat Allah. Sebab sesungguhnya tidak ada sesuatupun yang lebih lezat dan lebih manis bagi hati dibandingkan rasa cinta, kedekatan serta pengetahuan yang benar kepada penciptanya. Sesuai dengan kadar pengetahuan serta kecintaan seseorang pada Penciptanya maka sebesar itu pula kadar dzikir yang dilakukannya. Ini berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa dzikir kepada Allah ta’ala ialah dzikirnya seorang hamba ketika menyebut nyebut Rabb nya dengan bertasbih, bertahlil ( membaca laa ilaaha illallaah)

Namun ada yang berpendapat yang dimaksud dengan dzikrullah ialah Kitab Nya (al quran) yang diturunkan sebagai pengingat kaum mukminin. Berdasarkan pendapat ini maka makna “hati menjadi tentram dengan dzikrullah” ialah, manakala hati memahami makna makna al Quran serta hukum hukumnya hati akan menjadi tentram. Sesungguhnya makna makna serta hukum hukum Al Quran memberikan bukti tentang kebenaran yang nyata, didukung dengan dalil dalil dan petunjuk yang jelas. Dengan cara demikianlah hati menjadi tentram . Sesungguhnya hati tidak akan tentram kecuali ketika mendapatkan keyakinan dan ilmu. Itu semua hanya ada dalam kitab Allah yang dijamin. Adapun kitab kitab selain kitab Allah yang tidak merujuk kepada Kitab Allah, maka tidak akan menjadikan hati tentram. Bahkan kitab kitab lain senantiasa menimbulkan kebingungan kebingungan karena dalil dalil serta hukumnya saling bertentangan” (lihat Taisir al Karimir Rahman fi Tafsir Kalamal Mannan, Syeikh Abdur Rahman bin Mashir as Sa’di)

Dari dua keterangan ulama besar diatas, ketentraman hati yang hakiki hanya diperoleh ketika seseorang berdzikir kepada Allah ta’ala secara benar dan memahami makna makna serta hukum hukum yang ada dalam Al qur’an secra benar pula. Itulah ketentraman hati yang sesungguhnya.

Persoalannya, apakah setiap kegiatan yang dapat menentramkan hati, berarti pasti bahwa kegiatan itu benar ?

Mungkinkah seseorang mendapat ketentraman hati sedangkan cara yang dilakukannya salah ?

Persoalan ini muncul sebagai syubhat yang sering terlontar untuk membenarkan kegiatan tertentu, dengan alasan dapat menentramkan hati.

Untuk menjawab persoaln ini, maka harus dikembalikan pada kaidah umum tentang ibadah, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin -rahimahullah- meringkas penjelasan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Taqrib atTadmuriyyah tentang syarat diterimanya ibadah,

Ibadah mempunyai 2 syarat :

Pertama ,ikhlas hanya untuk Allah ta’ala semata, yakni tidak memaksudkan peribatannya kecuali untuk mencari wajah Allah dan mencapai negri kemuliaanNya. Inilah realisasi syahadat Laa ilaaha illalaah.

Kedua, Mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, yaitu tidak melakukan kegiatan peribadatan apapun kecuali berdasarkan apa yang disyariatkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam.

Orang yang musyrik tidak diterima ibadahnya karena kehilangan syarat pertama (yaitu ikhlas) Sedangkan ahli bid’ah tidak diterima ibadahnya karena kehilangan syarat yang kedua (yaitu ittiba kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam)

Pembuktian tentang dua persyaratan ini terdapat dalam kitabullah dan Sunnah NabiNya shalallahu ‘alaihi wassalam, sebagian dalil dari Al quran yang menunjukkan disyaratkannya ikhlas dalam peribadatan ialah firman Allahu ta’ala :

إِنَّا أَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصاً لَّهُ الدِّينَ

Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan ikhlas (memurnikan) menyerahkan keta’atan kepada-Nya

Sebagian dalil dari Sunnah tentang disyariatkannya ikhlas, ialah sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam

قال رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏إنما الأعمال ‏ ‏بالنية ‏ ‏وإنما لامرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى الله ورسوله فهجرته إلى الله ورسوله ومن كانت هجرته لدنيا يصيبها أو امرأة يتزوجها فهجرته إلى ما هاجر إليه

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. bersabda: Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan bagi setiap orang apa yang telah ia niatkan. Barang siapa yang tujuan hijrahnya menuju Allah dan Rasul-Nya, maka (pahala) hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang tujuan hijrahnya adalah untuk mendapatkan dunia atau seorang wanita yang akan ia nikahi, maka hijrahnya itu kepada apa yang kehendaki ( HR.Muslim)

Sedangkan sebagian dalil dari Al quran yang menunjukkan disyaratkannya mutaba’ah (mengikuti petunjuk Rasul) ialah firman Allahu ta’ala :

فَالَّذِينَ آمَنُواْ بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُواْ النُّورَ الَّذِيَ أُنزِلَ مَعَهُ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Maka orang orang yang beriman kepada Rasulullah, memuliakannya, membelanya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (al quran) , merekalah orang orang yang beruntung (Al A’raf 157)

Adapun sebagian dalil dari Sunnah tentang wajibnya mutaba’ah diantaranya ialah sabda beliau shalallahu ‘alaihi wassalam :

من ‏ ‏أحدث ‏ ‏في أمرنا هذا ما ليس منه فهو ‏ ‏رد

Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam urusan agama kami ini, apa yang tidak berasal darinya maka ia tertolak (HR Muslim)

Mengikuti tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam ini tidak akan terwujud, kecuali jika peribadatan yang dilakukannya benar benar sesuai dengan syariat, baik dalam hal sebab, jenis, ukuran,tata cara, waktu, maupun tempatnya.

Berdasarkan keterangan tersebut, maka kegiatan apapun yang dapat menentramkan hati harus memenuhi dua syarat diatas. Jika dua syarat itu tidak terpenuhi, maka kegiatan peribadatan apapun akan tertolak dan sia sia, meskipun hati menjadi tentram karenanya. Sebab ukuran diterima atau tidaknya suatu kegiatan ibadah bukan terletak pada bisa atau tidaknya menentramkan hati tetapi pada dua syarat yang telah dikemukakan diatas.

Bisakah perbuatan yang salah dan bid’ah mendatangkan ketentraman hati ?

Jawabnya adalah, bisa saja, sebab ketentraman hati terkait erat dangan rasa. Bila seseorang menjadi mantap dengan suatu kegiatan, bisa saja kegiatan itu mendatangkan ketentraman dihatinya. Padahal kegiatan tersebut adalah kegiatan yang salah dan nahkan mungkin sesat. Tetapi karena perasaanya menganggap kegiatan itu baik, sehingga melahirkan kesenangan tersendiri pada jiwanya. Namun itu hanyalah kesenangan dan ketentraman semu. Tidak akan berlangsung lama hingga akherat.

Bukankah dengan bersemedhi ala budha juga dapat mendatangkan ketentraman hati bagi pelaku yang meyakininya ? Tetapi semedhi yang mendatangkan ketentraman ini jelas bathilnya. Demikian juga dzikir-dzikir bid’ah, wirid-wirid bid’ah dan kegiatan kegiatan lain yang tidak berdasarkan tuntunan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, meskipun mendatangkan ketentrman dihati pelakunya.

Jadi, adanya dalil yang menyatakan bahwa dzikrullah dapat menentramkan hati, tidak lantas bisa diambil pengertian terbalik, yaitu tiap tiap kegiatan atau tiap tiap wirid aatu tiap tiap dzikir yang dapat menjadikan tentram hati, berarti kegiatan kegiatan itu pasti benar. Itu adalah anggapan yang keliru.

Demikianlah hendaknya para hamba Allah berhati hati dan senantiasa bertakwa kepada Allah ta’ala.

Wallahu Waliyyu at Taufiq. Wallahu a’lam

( disadur dengan perubahan dari Majalah As Sunnah edisi 04/ Tahun X/1427H/2006M hal 35-36 oleh Ustd Ahmaz Faiz bin Asifuddin)

0 Comments: