Ahlan Wa Sahlan

IQRO ( BACALAH )

Bacalah dirimu, Bacalah dari apa engkau dijadikan

Bacalah kejadian demi kejadian, Bacalah masa lalu, dan apa-apa yang ditinggalkan, Bacalah masa kini, dan apa-apa yang ada disekitarmu, Bacalah masa yang akan datang dan apa-apa yang akan dan tentu terjadinya.

Sungguh ALLOH telah memberimu berlimpah-limpah, dan tegak kanlah kebenaran itu dengan daya juang yang tak kenal payah dan henti ( sabar),......................

Selamat datang ana ucapkan kepada akhi dan ukhti, semoga apa yang tertulis di blog ini bermanfaat bagi kita dalam menSyiarkan Islam, serta sebagai media bagi kita untuk saling bersilaturahmi.

Kritik dan saran dapat di sampaikan ke is.majid@gmail.com

Wassalam

AddThis

Bookmark and Share

Selasa, 23 September 2008

Manusia dan Sabar

Tidak sedikit dari kita mendengar kisah sukses di masa lalu, tapi mendulang tragis di masa kini.

Dulu sering dilibatkan dalam proyek-proyek besar, tapi sekarang lebih banyak menggigit jari alias duduk manis di kursi kerja. Masa-masa kemarin, memiliki banyak catatan prestasi dan layak diperhitungkan, sering mendapatkan pujian-pujian, maka masa-masa sekarang benar-benar paceklik kesempatan untuk memperoleh itu semua.

Tahun berganti tahun, kenaikan karier tidak lagi jelas dan prestasi emas pun dirasa tidak pernah dicatat oleh sang atasan. Bersamaan dengan itu, marak juga tuduhan-tudahan miring, seperti egois, sulit bekerja sama, mau menang sendiri, tidak disiplin, dan predikat-predikat menjengkelkan lain.

Naasnya lagi, pembangunan kesan buruk yang disertai perlakukan tidak menyenangkan itu bukan hanya datang dari atasan, tapi juga teman-teman kerja lainnya. Mereka ikut terlibat, karena mereka mencoba loyal kepada atasan. Sehingga, kebijakan apa pun yang ditentukan oleh atasan, mereka ikuti sambil menyorakinya. Mendukung penuh maunya atasan. Semacam kelompok cheer leader.

Karena bila tidak diikuti, mereka khawatir bisa terdepak dari sistem.

Di saat seperti itu, sebagian dari kita pastinya lebih memilih diam dan tidak memberikan perlawanan apa pun. Pasrah.

Seratus persen pasrah dan seakan sepenuhnya menyerahkan perjalanan nasib kepada Yang Mahakuasa.

Entah itu dengan beribadah mati-matian. Atau, melakukan ikhtiar lainnya.

Bagi yang masih memiliki semangat untuk berubah - dan berpikir positif - tentu saja akan mencoba bersyariat dengan memperbaiki akhlak. Karena, pada dasarnya, orang semacam itu sadar bahwa dirinya memang memiliki banyak kekurangan.

Niatnya adalah memperbaiki diri, dengan membangun akhlak baru, supaya atasan dan teman-teman juga menerimanya.

Sehingga, pandangan buruk itu berakhir dan kita pun bisa meraih masa kegemilangan lagi.

Hasilnya ?

Macam-macam.

Namun tidak sedikit, yang justru nihil.

Karena, perlakuan dan sikap atasan dan gangnya tetap tidak berubah. Sia-sia jadinya.

Kesimpulan itu didapat, setelah orang yang bersangkutan melihat tingkat kenaikan gaji yang di bawah rata-rata.

Atau jatah bonus, yang juga di bawah rata-rata. Perlakukan tidak adil begitu terasa. Sehingga, usaha untuk merubah diri itu pun seakan tidak mendapat respon. Benar-benar mubajir.

Persoalan seperti itu termasuk standar. Artinya, hal itu seperti lazim terjadi di perusahaan mana pun. Masa kerja yang lama kerap tidak memberikan kesempatan bagi karyawan, untuk mendapatkan penghargaan atau apresiasi yang layak dari atasan.

Jangankan promosi, untuk terlibat dalam pekerjaan yang sedikit bergengsi pun sulit. Sehingga, jangan lagi berpikir soal nilai tinggi, bahkan kesempatan untuk dilirik pun tidak ada. Karena, memang tidak ada kesempatannya. Tidak ada jalannya.

Banyak faktor penyebabnya. Entah karena kebijakan perusahaan yang tengah berpihak pada tenaga-tenaga muda dan segar ?

Entah karena kebijakan perusahaan yang tengah regenerasi ?

Entah karena kebijakan perusahaan yang berharap hanya memiliki tenaga murah ?

Wallahu 'alam.

Di tingkat pelaksanaan, atasan maksudnya, tentu saja mereka pun harus berkiblat pada kebijakan perusahaan.

Merekalah manejer yang mengatur dan menjalankan gerak kebijakan-kebijakan itu.

Sehingga dalam pratiknya, atasanlah yang pertama kali harus berbenturan dengan bawahan atau pekerja yang dirugikan.

Kesannya, ia menutup jalan bagi sang pekerja dan bersikap tidak adil.

Tapi, tidak bisa dipungkiri juga, adanya faktor "x" lain.

Misal, atasan memiliki sejarah panjang tentang bawahannya, termasuk keburukan-keburukannya.

Sehingga ia tidak mempercayainya lagi.

Faktor berpengaruh lain, tentu saja menyangkut perbedaan-perbedaan antara atasan dan bawahan; usia, pendidikan, pengalaman, kemampuan, bahkan hobi. Menjadi berpengaruh, karena pada akhirnya, masalah-masalah itu memberikan ketidaknyaman pada sang atasan. Tidak mengganggu pekerjaan sebenarnya. Tapi, tetap saja memberikan ketidaknyamanan. Dan, ketika hal itu terjadi, maka wajar saja, bila nama kita tidak mendapat tempat di hati atasan.

Bagi kita yang masih memiliki bekal kesabaran yang cukup, maka segera saja mencari jalan keluar. Entah dengan memburu buku-buku tentang manajemen sumber daya manusia, psikologi, atau teknik komunikasi, atau mengikuti berbagai seminar keperibadian.

Kerap, sebagian dari kita mendatangi psikolog, pakarnya bidang kejiwaan. Dalam artian, upaya memperbaiki diri menurut pengalaman dan analisis para ahli.

Namun setelah membaca buku dan mempraktekkannya, setelah mendapatkan pengetahuan atau nasihat dan mempraktekkannya, tidak sedikit dari kita justru menjadi frustrasi. Karena, merasa tidak memberikan hasil.

Ada perbedaan mencolok antara situasi di dalam buku, seminar, atau ruang konsultasi, dan kenyataan.

Perbedaan yang sangat mencolok.

Penjelasan dalam buku-buku kerap merupakan contoh kasus yang terjadi di negara-negara maju, ketika budaya dan wawasan manajemennya sudah tertata rapi. Mereka telah memiliki aturan baku. Sementara di negara berkembang, pengaruh feodalisme atau wawasan manajemen lokalit, masih mendominasi. Sehingga, teori-teori itu, sebatas teori di atas kertas. Sulit untuk diterapkan.

Apalagi memberikan jalan keluar bagi pembacanya.

Uraian para ahli dalam seminar atau psikolog di ruang kerjanya, juga tidak bisa menjangkau situasi yang terjadi di ruang kerja atau gambaran jelas tentang atasan kita. Sehingga, jawaban yang didapat lebih bersikap normatif, standar, dan hanya memberikan kesejukan sesaaat. Setelah itu, tetap saja bingung !

Pada akhirnya, bermunculanlah orang-orang yang frustrasi dan bingung mencari jalan keluar. Ribuan bahkan jutaan orang menjadi bagian dari orang-orang yang dipayungi masalah. Dan, jutaan orang itu pula tengah merindukan jawabannya.

Tiba-tiba, kita harus melirik kembali ke bumi tempat kita berpijak seraya menatap rumput-rumput bertumbuhan secara liar. Memandangi diri ini yang tiba-tiba tak ubahnya dengan rerumputan liar. Terbuang dan terasing dari sekelilngnya. Terlebih lagi, bila di sekitar sang rumput juga berkumpul aneka anggrek, mawar, melati, dan berbagai bunga hias lainnya.

Maka, jangankan rumput, tegarnya pohon jati dan cemara pun harus dilupakan. Lalu, kenapa sang rumput harus bersedih ?

Kadang-kadang kita merasa sudah melakukan perubahan dan menjadi lebih baik, tapi orang lain belum tentu merasakannya.

Setiap orang punya sudut pandang dan penilaian yang berbeda.

Sehingga, siapa yang ngerti kalau kita sudah berubah dan berniat membangun akhlak mulia ?

Muara persoalan-persoalan itu sendiri, sejatinya adalah masalah ketidakadilan, minimnya pengakuan akan prestasi, persaingan yang tidak sehat, intrik-intrik di lingkaran kantor, dan ketakutan akan masa depan.

Buahnya, ya kecewa, sakit hati, frustrasi, apatis, putus asa, dan membebani hati dengan berburuk sangka terhadap siapa pun. Atasan, teman kerja, istri, suami, anak-anak, bahkan Tuhan.

Sebuah hadits qudsi itu dari buku "Meraih Cinta Ilahi - Pencerahan Sufistik" yang ditulis oleh Jalaluddin Rahmat menceritakan kisah dua orang raja, yakni raja mukmin dan raja lalim yang mendapat hidayah siasat dari Allah swt.

Dahulu ada dua orang raja; raja mukmin dan raja kafir. Raja yang kafir sakit.

Ia menginginkan sejenis ikan bukan pada musimnya. Waktu itu, jenis ikan tersebut berada di dasar samudera.

Para tabib yang putus asa menasihatkan agar raja segera mengangkat penggantinya. "Obat Baginda ada pada ikan itu.

Kita tak mungkin mendapatkannya", kata mereka. Allah lalu mengutus salah seorang malaikat untuk menggiring ikan itu keluar dari lubangnya di dasar laut supaya orang mudah menangkapnya. Ikan itu pun lalu ditangkap. Raja memakannya dan ia segera sembuh.

Kemudian raja yang mukmin juga jatuh sakit. Ia menderita penyakit yang sama seperti yang diderita raja kafir.

Ia sakit pada waktu ikan yang menjadi obatnya itu berada pada permukaan laut.

"Bergermbiralah, sekarang ini musim munculnya ikan itu," kata para tabib. Lalu Allah mengutus para malaikat untuk menggiring ikan-ikan itu dari permukaan laut sampai masuk kembali ke lubang-lubangnya di dasar laut. Orang-orang tak mampu mengangkatnya.

Para malaikat langit dan penduduk bumi keheranan. Mereka kebingungan. Kemudian Allah mewahyukan kepada para malaikat langit dan para nabi di zaman itu. "Inilah Aku, Yang Pemurah, Pemberi Karunia, Mahakuasa. Tidak menyusahkan Aku apa yang Kuberikan.

Tidak bermanfaat bagiKu apa yang Kutahan. Sedikit pun Aku tidak menzalimi siapa pun.

Ada pun raja kafir itu, Aku memudahkan baginya mengambil ikan bukan pada waktunya.

Dengan begitu, Aku membalas kebaikan yang pernah ia lakukan.

Aku balas kebaikan itu sekarang supaya ketika ia datang pada hari kiamat, tidak ada kebaikan pada lembaran-lembaran amalnya.

Ia masuk ke neraka karena kekufurannya.

Ada pun raja yang ahli ibadat itu, Aku tahan ikan itu pada waktunya. Dia pernah berbuat salah.

Aku ingin menghapuskan kesalahannya dengan menolak kemauannya dan menghilangkan obatnya supaya kelak dia datang menghadapKu tanpa dosa, dan dia pun masuk surga."

Kesimpulannya, Allah swt memang mengatur semua alur kehidupan ini secara sempurna.

Ia merupakan Produser, Sutradara, sekaligus Penulis Skenario Terhebat untuk setiap scene kehidupan.

Dia memang Mahamengatur dan Maha mengawasi.

Raja mukmin itu mangkat, karena Allah berkehendak, agar sang raja benar-benar mendapatkan kemuliaan dan upaya peleburan dosa selagi ia di dunia. Sehingga, ketika ajal menjemputnya, ia benar-benar putih laksana kapas.

Maka, para malaikat pun dengan sukacita mengantarkannya ke pintu sorga. Catatan prestasinya, 100 untuk kebaikan dan 0 untuk kejahatan. Nilai yang sempurna. Prestasi seorang insan kamil, manusia yang sempurna.

Sebaliknya dengan raja kafir. Seumur hidup ia membuat dosa, sepanjang hayat ia menanam kejahatan, dan sepanjang usia ia melupakan Tuhan, maka sampai pada titik di mana ia bisa melakukan peleburan dosa, Allah justru tidak melakukannya.

Tapi, ia dibiarkan terus menikmati kemudahan dan kemuliaan. Bahkan, amal-baiknya pun langsung dibayarkan selagi ia hidup.

Skor akhir, sang raja mukmin sepanjang hidup memiliki nilai 0 untuk kebajikan dan 100 untuk kejahatan.

Allah itu Maha kuasa, Maha berkehendak, dan Maha mengatur.

Allah bisa melakukan apa saja untuk hambaNya. Allah bisa memutuskan apa saja untuk umatNya.

Karena, Allah memang telah merancangnya sedemikian rupa untuk harmoni kehidupan.

Allah akan merubah nasib seseorang, bila Allah memang menghendakinya. Allah akan memberikan kemuliaan atau kesengsaraan, bila Allah telah mengaturnya. Politik atau siasat Allah tentang makhluk-makhluk ciptaanNya.

Buat manusia, takdir namanya.

Bila ujian atau cobaan menjadi porsinya manusia, maka takdir menjadi porsinya Tuhan.

Artinya, Yang Mahakuasa telah membuat buku khusus tentang perjalanan hidup manusia, yang ketentuan-ketentuanNya tidak bisa dibantah atau ditolak oleh manusia. Manusia hanya bersyariat untuk memohon dan mencari jalan keluar.

Namun menyangkut hasil, hakekatnya hanya milik Allah.

Dan, sesungguhnya banyak dari kita yang belum memiliki pribadi kokoh untuk mengakui keesaan Tuhan, meyakini kuasaNya, dan menjunjung Asmaul Husna, dengan keikhlasan dan kesukacitaan.

Sehingga, ketika Allah menegur, memperhatikan, dan mencurahkan cintaNya, kita tetap saja tidak sadar.

Kita tetap marah, mengeluh, menyesali diri, seraya memprotes kepada Tuhan, seakan Dia tidak memiliki sifat Maha adil dan Maha bijaksana.

Sebaliknya, atas nama Mahaadil dan Mahabijaksana, kita justru menuntut Allah, untuk melimpahkan kebahagiaan dan kemuliaan untuknya. Pemenuhan kebutuhan duniawi, sifatnya. Padahal, tanpa diminta atau diprotes, sebenarnya Allah telah menyiapkan kebijakan tersendiri kita.

Di sisi lain, kita pun harus sepenuhnya menyadari, masalah kantor adalah persaingan.

Karena itu, meskipun bingkainya lingkungan profesional tetap saja menghadirkan nuansa politik, persaingan karier, dan pengembangan prinsif ekonomi, yang kerap tidak berpihak pada pembentukan akhlak manusia.

Maksudnya, akhlak yang sesuai agama.

Kita mungkin memiliki pengetahuan tentang standar pengembangan sumber daya manusia. Tapi, kita juga harus sadar, ternyata persepsi kita tentang masalah itu tidak sama dengan perusahaan, atasan kita, atau teman-teman kita. Karena, bisa jadi, mereka pun memiliki acuan berpikir yang berbeda dengan kita. Kalau pun persepsinya sama, sesuai dengan teori-teori dalam buku atau akademik, kita juga harus menimbang adanya oknum-oknum yang bisa berbuat sekehendak hati.

Mungkin, mereka kepengin menjadi tuhan-tuhan kecil. Ya, menjadi keluarganya Fir'aun. Nau'dzubilah.

Lingkungan kerja sebenarnya adalah murni dunia persaingan, untuk memunculkan dan memaksakan munculnya hero, safety player, dan kelompok "suket". Hero adalah pekerja atau karyawan yang dianggap berprestasi dan memberikan sumbangsih besar untuk perusahaan. Safety player adalah pekerja atau karyawan yang sebenarnya tidak terlalu terampil, tapi senantiasa menyenangkan atasan dengan segala cara. Ia adalah sosok ambisius yang menghalalkan segala cara, agar dirinya bisa terus dipakai dan dekat dengan atasan.

Sedangkan "suket" adalah pekerja atau karyawan yang dianggap tidak lagi berperestasi, tidak berguna, tidak memberika sumbangsih besar untuk perusahaan, dan layak untuk disingkirkan.

Sayangnya, predikat atau penjulukan itu muncul karena kehendak "yang berkuasa" di lingkungan kerja.

Faktor like and dislike sudah pasti ada di dalamnya.

Dunia kerja memang menuntut siapa pun untuk sigap memasuki lingkaran keras, yang sebenarnya memiliki aturan yang jelas dan baku - atas nama profesionalisme.

Tapi, dalam prakteknya, tetap saja faktor like and dislike, perselingkuhan karier, pembunuhan karakter, mudah terjadi.

Akhirnya, dunia itu bukan lagi dunia profesional. Tapi, sama dengan dunia politik; dunia yang bisa menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu keinginan atau kepentingan.

Situasi semacam itu mutlak terjadi di semua perusahaan.

Sepertinya, hal itu sudah merupakan sebuah kelaziman.

Sehingga, di luar tampilnya hero atau jagoan-jagoan handal, yang diikuti dengan karyawan berjaket safety player yang selalu mengamankan posisi, berduyun-duyun pula orang-orang yang nasibnya tidak jelas.

Harus tersingkir. Kalah. Masuk kotak. Dan, menjadi bagian dari komunitas suket alias lapisan bawah !

Ada pesan menarik dari Imam Al-Ghazali; "Ketika seseorang menerima masalah atau musibah, sesungguhnya ia tengah mendapat perhatian dari Allah swt." Kita diminta mengingat adaNya, serta meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya.

Jadi, maknanya bukan penzaliman atau penghukuman. Sebaliknya, itu merupakan bukti pemuliaan dari Allah swt untuk kita; orang-orang yang dipilihNya, dengan kualitas sabar nan tak terkira. Jadi, terserah kita, bagaimana harus menyikapi aturan dan kebijakan-kebajikan dari Yang Maha mengatur tersebut.

Meskipun demikian, kenyataan di lapangan memang tetap saja memperihatinkan. Jutaan kaum pekerja sudah pasti mengalami problem yang sama. Untaian penyakit hati yang terus saja memenjarakan hatinya. Mereka jadi larut dan seakan menikmati habis masalah-masalah hatinya. Kalau pun ada usaha mencari jalan keluar, maka sifatnya sekedar mencoba.

Mereka pun tak yakin, semua langkah yang dipilihnya bakal membuahkan hasil.

Hal ini bisa terjadi, karena target atau jalan keluar yang diharapkan adalah kemuliaan di dunia. Lebih tepat lagi, jawaban atau jalan keluar itu merupakan perubahan langsung pada prilaku dan sikap atasan dan kaumnya terhadap kita. Kalau bisa, atasan bisa langsung berbuat adil, memberikan gaji yang lebih layak, menghantarkan penghargaan yang setimpal, atau bukti-bukti nyata lainnya.

Mirip orang mengunyah cabai, seketika ia merasakan pedasnya.

Mereka tidak pernah berpikir dan mempertimbangkan kenyataan lain bahwa di balik pelimpahan beban atau masalah, Allah senantiasa memiliki rencana. Dan, manusia terlalu kecil bila mencoba untuk mengetahui kejadian-kejadian di masa depan.

Karena, hal itu memang rahasia Allah. Manusia memang diminta kreatif untuk membaca dan merubah nasibnya.

Berusaha. Bagian inilah yang paling penting. Dengan berusaha sama dengan bersyariat.

Menjalankan fungsi manusia, dengan anugerah akal dan hati, agar bisa hadir sebagai makhluk tersempurna dibandingkan makhluk hidup lain.

Karena itu, jangan mau akal dan hati kita, dipenjara masalah-masalah duniawi.

Jangan biarkan, akal dan hati lumpuh, karena dihimpit beban dan hantaman persoalan. Sesungguhnya, banyak manusia lain yang mengalami beban dan masalah yang lebih berat. Kenyataannya, mereka bisa bertahan dan hidup suka cita.

Para nabi dan orang-orang terdahulu telah membuktikan keperkasaanya dalam menyelesaikan persoalan. Ingatlah penderitaan Nabi Allah Ayub as dengan cobaan penyakit yang diterimanya. Bertahun-tahun ia harus menahan sakit, merasakan cemooh, dan dikucilkan orang di sekelilingnya. Namun, ia terus bersabar dan memuji kebesaranNya. Karena, hanya Dialah yang Maha pengasih dan Maha penyanyang.

Ingat berbagai perjuangan Baginda Rasulallah Muhammad saw yang harus menerima caci-maki, hinaan, kebencian, kekerasan, bahkan terusir dari tanah kelahirannya, ketika ia menegakkan panji-panji Islam. Ia adalah gambaran kesabaran tersempurna atas segala cobaan dan ujian dariNya. Bukankah ujian kesabaran untuk mereka lebih dasyat dibandingkan kita ?

Tidak adakah sepenggal kehidupan lain mesti kita syukuri dengan sepenuh hati ?

Sehingga kita bisa melepaskan diri dari kepungan masalah dan kepapaan tauhid kita ?

Karena itu, apa yang terjadi pada kita sungguh tidak seujung kuku dibandingkan derita yang dialami oleh Nabi Ayub as atau Baginda Rasulallah saw. Kesabaran kita sungguh tidak ada apa-apanya.

Padahal, kita pun memiliki peluang besar untuk menggapai kemuliaan (termasuk di lingkungan kerja kita) asal kita mensyukuri apa-apa yang sudah dan masih didapatnya.

Kita harus bersyukur karena masih mendapat tempat dan kehormatan.

Kita juga harus bersyukur karena masih memiliki pekerjaan dan gaji yang layak.

Dan, banyak lagi hal-hal yang harus disyukuri atas apa-apa yang masih dinikmatinya hingga sekarang.

Karena hilangnya rasa syukur itu, maka kita pun melupakan hakekat sabar.

0 Comments: