Penulis: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Hari Raya Kedua?
Tanggal merah di kalender negara kita (Indonesia tercinta) untuk lebaran ‘Idul Fitri biasanya ada dua, yaitu tanggal 1 dan 2 Syawal. Biasanya ini pun terbawa sampai ke pembicaraan secara tak sadar, misalnya. “Aku ke rumah pamanku biasanya hari raya kedua.”
Nah saudariku, tahukah engkau bahwa hari raya umat muslim itu memang ada dua. Tapi bukan seperti di kalender nasional. Hari raya umat muslim adalah tanggal 1 Syawal dan tanggal 10 Dzulhijjah, dan dua hari raya ini adalah pengganti dari dua hari raya yang ada pada masa jahiliyyah (hari raya Nairuz dan Mahrajan) di kota Madinah. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu yang mendengar beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Aku datang kepada kalian, sedangkan kalian memiliki dua hari raya yang menjadi ajang permainan kalian pada masa jahiliyyah. Dan sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik, yaitu hari raya ‘Idul Adh-ha dan ‘Idul Fithri.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Shahih)
Mengangkat Tangan Saat Takbir
Shalat ‘Idul Fitri pada rakaat pertama dimulai dengan takbir sebanyak 7 kali dan rakaat kedua sebanyak 5 kali. Tentu biasanya kita mengangkat tangan setiap takbir tersebut.
Tahukah engkau saudariku, ternyata tidak terdapat hadits shahih yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan di setiap takbir tersebut. Yang ada adalah riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu yang mengangkat kedua tangannya setiap kali takbir. Seperti kita ketahui, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu adalah salah satu sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat bersemangat mengikuti sunnah Rasulullah.
Maka, barangsiapa yang berkeyakinan bahwa Ibnu ‘Umar tidak akan mengangkat tangan kecuali dengan ketetapan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia boleh mengangkat tangannya. Boleh juga bagi kita mengangkat tangan pada saat takbir dengan berlandaskan dalil umum bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan setiap kali takbir.
Haid Saat Hari Raya?
Biasanya, para wanita sudah mulai menghitung-hitung dari awal Ramadhan, memperkirakan apakah dapat bersuka ria dan bersuka cita pada hari raya karena dapat mengikuti shalat ‘Idul Fithri.
Tahukah engkau saudariku, tidak perlu bersedih hati karena mendapatkan haidh saat hari raya. Karena kegembiraan itu dan kehadiranmu di tempat shalat ‘Id tidak terhalangi dengan hal yang sudah menjadi sunnatullah (ketetapan dari Allah). Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bahkan memerintahkan seluruh wanita untuk tetap pergi ke tempat shalat ‘Id, sebagaimana diceritakan oleh Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha,
“Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memerintahkan kami pada dua hari raya untuk mengeluarkan gadis-gadis, wanita-wanita pingitan, dan wanita-wanita yang sedang haid (untuk mengikuti shalat ‘Id), tetapi wanita-wanita yang sedang haid tidak boleh masuk tempat shalat.” (HR. Bukhari)
Halal Bi Halal
Acara Halal Bi Halal ini biasanya merupakan ajang pertemuan baik sanak kerabat, teman kantor atau yang lainnya yang maksudnya adalah saling memaafkan segala kesalahan yang telah lalu dari orang-orang yang ditemui pada saat itu.
Tahukah engkau saudariku, bermaaf-maafan tidaklah mesti dikhususkan pada saat hari raya ‘Idul Fithri. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya tidak pernah mengajarkan dan mengkhususkan untuk bermaaf-maafan saat sebelum dan sesudah puasa. Bahkan pada hari raya ini sebenarnya merupakan hari di mana kaum muslimin diberi keleluasaan untuk bersenang-senang dan menghibur diri setelah lelah beribadah, walaupun lebih utama berpaling dari itu. Sebagaimana dalam hadits yang diceritakan oleh istri tercinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika hari raya ‘Idul Adh-ha, terdapat dua orang anak perempuan yang menyanyikan nyanyian orang-orang Anshor ketika terjadi peperangan Bu’ats.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat itu masuk dan berbaring di atas tempat tidur seraya memalingkan wajahnya. Ayah istri tercinta Rasul dan merupakan orang yang paling dicintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masuk dan melihat anak-anak yang sedang bernyanyi itu pun seketika marah dan menghardik,
“Seruling setan ada di dekat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam??!!”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar itu menghadap Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan bersabda, “Biarkan mereka berdua.”
Dalam riwayat lain, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu memiliki hari raya dan ini adalah hari raya kita.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Eh… tapi perlu diperhatikan lho, nyanyian di sini bukan nyanyian seperti yang ada sekarang ini. Yang diperbolehkan adalah nyanyian yang isi syairnya mengungkapkan berbagai hal yang menyangkut peperangan, keberanian dan dalam pelantunannya dapat membantu urusan agama. Dilantunkannya pun hanya boleh dengan rebana dan dinyanyikan oleh anak-anak kecil perempuan. Lihat saja reaksi spontan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu ketika mendengar dan melihat ada dua anak menyanyi seperti itu. Berarti pada dasarnya, hal tersebut (menyanyi) memang terlarang kecuali yang telah dikecualikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu pada saat hari raya dan pada saat walimahan.
Bersalam-Salaman
Maksud bersalam-salaman di sini bukan memberi salam “assalamu ‘alaikum”. Tapi bentuk EYD yang lebih tepat adalah berjabat tangan. Ini adalah konsekuensi yang ada jika mengikuti acara Halal Bi Halal, bahkan biasanya sampai ada acara cipika-cipiki (cium pipi kanan-cium pipi kiri). Yang lebih tidak menyenangkan dan membuat hati gundah gulana adalah jabat tangan itu tidak mesti dilakukan sesama jenis, tetapi juga dengan lawan jenis yang jelas-jelas bukan mahram.
Tahukah engkau saudariku, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika melakukan sesuatu yang sangat penting, yaitu baiat, tidak pernah menyentuh wanita. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memperingatkan secara keras masalah menyentuh perempuan secara sengaja dalam hadits berikut,
“Sungguh ditancapkannya kepala seseorang dengan jarum besi, itu masih lebih baik daripada dia menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” (Hadits shahih, HR. Thabrani)
Ziarah Kubur
Menurut pendapat yang paling rajih (kuat), ziarah kubur bagi wanita dibolehkan setelah sebelumnya dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tahukah engkau saudariku, waktu ziarah kubur ini tidak ditetapkan khusus pada saat sebelum berpuasa atau hanya pada saat ‘Id. Karena faidah yang sebenarnya ingin didapatkan dari seseorang berziarah kubur adalah mengingatkannya akan kematian. Maka ketika seseorang mengkhususkan waktu-waktu tersebut untuk berziarah dengan keyakinan bahwa itu merupakan bagian dari ibadah (bahkan merasa kurang jika tidak dikerjakan), maka hal tersebut tidak diperbolehkan. Bahkan dapat membuat celah dibuatnya syariat baru, sehingga orang yang baru belajar Islam akan beranggapan bahwa ziarah kubur semacam itu memang memiliki waktu-waktu seperti yang sering terlihat. Padahal apa yang dilakukan banyak orang, belumlah tentu suatu kebenaran. Kebenaran adalah apa yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan untuk umat Islam.
Wallahu a’lam
0 Comments:
Post a Comment