Ahlan Wa Sahlan

IQRO ( BACALAH )

Bacalah dirimu, Bacalah dari apa engkau dijadikan

Bacalah kejadian demi kejadian, Bacalah masa lalu, dan apa-apa yang ditinggalkan, Bacalah masa kini, dan apa-apa yang ada disekitarmu, Bacalah masa yang akan datang dan apa-apa yang akan dan tentu terjadinya.

Sungguh ALLOH telah memberimu berlimpah-limpah, dan tegak kanlah kebenaran itu dengan daya juang yang tak kenal payah dan henti ( sabar),......................

Selamat datang ana ucapkan kepada akhi dan ukhti, semoga apa yang tertulis di blog ini bermanfaat bagi kita dalam menSyiarkan Islam, serta sebagai media bagi kita untuk saling bersilaturahmi.

Kritik dan saran dapat di sampaikan ke is.majid@gmail.com

Wassalam

AddThis

Bookmark and Share

Rabu, 21 Oktober 2009

HUKUM SHALAT JAMA'AH KEDUA

Oleh

Al-Allamah -Al-Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Pertanyaan.

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya :

Bagaimana mendirikan shalat jama'ah kedua setelah dilakukan jama'ah di dalam satu masjid.

Jawaban.

Ulama fikih berbeda pendapat tentang hukum shalat jama'ah kedua.

Sebelum aku menunjukkan perbedaan-perbedaan (pendapat) di antara mereka dan menjelaskan mana yang rajih (unggul) dan marjuh (lemah), aku perlu membatasi (pengertian) jama'ah (kedua) yang diperselisihkan itu.

Permasalahan yang diperselisihkan adalah (shalat) jama'ah yang didirikan disatu masjid yang sebelumnya sudah didirikan oleh imam dan muadzdzin tetap (masjid tersebut).

Adapun jama'ah-jama'ah yang didirikan di tempat lain, seperti di rumah, di masjid jalanan, kompleks pertokoan tidak termasuk yang dipermasalahkan.

Ulama-ulama mengambil pendapat, bahwa mendirikan jama'ah untuk kedua kalinya dalam satu masjid yang ada imam dan mu'adzdzin rawatibnya hukumnya makruh, berdasar pengambilan dari dua sisi dalil.

[1] Dalil naqli (dari syara')

[2]Dalil nazhari meliputi periwayatan dan hikmah disyari'atkannya shalat berjama'ah.

Adapun berdasar dalil naqli : Setelah para ulama ahli hadits meneliti kehidupan Rasulullah SAW, mereka menemukan bahwa Rasulullah sepanjang hidupnya senantiasa shalat berjama'ah bersama para sahabatnya di masjid beliau.


Bila di antara para sahabatnya ada yang ketinggalan, tidak bisa shalat berjama'ah bersama Rasulullah di masjid, mereka shalat sendiri dan tidak menunggu siapa pun. Tidak menengok kanan-kiri, seperti dilakukan orang sekarang, meminta satu atau banyak orang

untuk bersama shalat jama'ah dan salah seorang dari mereka dijadikan imam.

Demikian itu tidak pula diperbuat oleh orang-orang salaf (terdahulu, para sahabat ).

Bila mereka masuk masjid, ternyata sudah selesai didirikan shalat jama'ah, mereka shalat sendiri-sendiri.

Begitulah yang dijelaskan oleh Iman Syafi'i dalam kitabnya Al-Um.

Ungkapan Imam Syafi'i berkaitan dengan masalah ini lebih banyak dibanding ungkapan imam-imam lain.


Imam Syafi'i berkata yang artinya :

"Bila ada beberapa orang masuk masjid, lantas mendapati imam telah selesai shalat (jama'ah) lakukanlah shalat sendiri-sendiri. Bila mereka melakukan shalat berjama'ah (lagi) boleh saja.

Tapi, aku tidak menyukai semacam itu. Karena hal itu bukan merupakan karakteristik salaf"

Kemudian Imam Syfai'i melanjutkan.

"Artinya : Adapun masjid yang ada di pinggir jalan (yang disediakan untuk para musafir) yang tidak punya imam dan muadzdzin tetap, maka melakukan

(shalat) jama'ah berulang kali di dalam masjid tersebut tidak apa-apa".

Imam Syafi'i berkata pula.

"Artinya : Aku telah hafal (beberapa riwayat), sesungguhnya ada sekelompok shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ketinggalan shalat berjama'ah.

Lantas merekapun shalat sendiri-sendiri. Padahal mereka mampu mendirikan shalat jama'ah lagi. Tapi, hal itu tidak dilakukannya, karena mereka tidak suka di satu masjid diadakan (shalat) jama'ah dua kali.

Semua ini merupakan ucapan Imam Syafi'i. Beliau menyebutkan, bahwa para

shahabat apabila ketinggalan shalat berjama'ah (bersama Rasulullah) mereka shalat sendiri-sendiri. Begitulah disebutkan oleh Imam Syafi'i dengan riwayat muallaq (artinya Imam Syafi'i tidak langsung mendapatkan riwayat itu dari seorang rawi tapi rawinya menggantungkan riwayatnya).

Al-Hafidzh Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah mengaitkannya dalam kitabnya yang masyhur Al-Mushannaf. Riwayatnya berdasarkan sanad yang kuat dari Hasan Al-Bashri, bahwa sesungguhnya para shahabat apabila ketinggalan shalat berjama'ah mereka shalat sendiri-sendiri.


Juga diriwayatkan Imam Ath-Thabari dalam kitabnya Mu'jam Al-Kabir dengan sanad yang bagus dari shahabat Ibnu Mas'ud. Yaitu suatu saat Ibnu Mas'ud bersama dua temanya keluar dari rumah menuju masjid untuk mengikuti shalat jama'ah.

Saat itu ia melihat orang-orang keluar masjid, mereka sudah selesai melakukan shalat jama'ah.

Maka Ibnu Mas'ud pun kembali ke rumah bersama dua temannya. Ia shalat berjama'ah bersama mereka di rumah sekaligus sebagai imam.

Ibnu Mas'ud kembali (ke rumah). Padahal keshahabatannya dengan Rasulullah cukup dikenal, pemahaman tentang keislamannya mendalam, andai kata beliau tahu mendirikan jama'ah berulang-ulang kali di masjid itu disyari'atkan, pasti beliau dengan kedua temannya itu masuk masjid dan mendirikan shalat berjama'ah di situ. Karena beliau jelas tahu bahwa Rasulullah pernah bersabda:

"Artinya : Seutama-utama shalat seseorang itu dirumahnya kecuali shalat fardhu".Kemudian apa yang mencegah Ibnu Mas'ud melaksanakan shalat fardhu itu di masjid. ?


Jawabnya:

Karena Ibnu Mas'ud tahu bahwa sesungguhnya apabila melakukan shalat di masjid, beliau akan melakukannya secara sendiri-sendiri. Ibnu Mas'ud berpendapat, bahwa shalat berjama'ah di rumah bersama dengan dua temannya akan lebih utama dari pada shalat sendiri-sendiri meskipun dilakukan di masjid.

Semua ini merupakan kumpulan dalil-dalil naqli yang menguatkan pendapatjumhur (ulama) bahwa mengadakan jama'ah untuk kedua kalinya di satu masjid itu makruh hukumnya.

Kemudian para ulama itu pun tidak kehabisan jalan untuk mendapatkan dalil-dalil lain selain yang sudah dipaparkan. Misalnya, melalui lstimbath dan melihat secara tajam berkenaan dalil-dalil itu.


Imam Bukhari dan lmam Muslim meriwayatkan hadits dari shahabat Abu Hurairah,

Rasul Allah bersabda:

"Aku memiliki kehendak untuk menyuruh seseorang menjadi imam shalat (di masjid), kemudian aku menyuruh beberapa lelaki untuk mengambil (mengumpulkan) kayu bakar dan aku keluar menuju ke rumah orang-orang yang tidak mengikuti shalat berjamaah di masjid. Maka, aku bakar rumahnya.

Demi Zat yang jiwa Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam berada di tangan-Nya, andaikata orang-orang ku mengetahui bahwa di dalam masjid itu akan ditemukan dua benda yang sangat berharga pasti mereka akan menyaksikannya pula". (HR. Bukhari dan Muslim).


Hadits ini merupakan ancaman dari Rasulullah atas orang-orang yang suka menyelisihi terhadap kehadiran (untuk) shalat jamaah di masjid dengan cara membakar rumahnya. Saya (Al-Albani) melihat, bahwa hadits ini telah memberikan gambaran kepada kita tentang hukum permasalahan terdahulu (yaitu bahwa shalat berjamaah dua kali atau lebih dalam satu masjid yang ada imam dan mu'adzdzin tetapnya dihukumi makruh [dibenci]).


Hadits ini bisa pula memberikan gambaran kepada saya untuk bisa menerima penuturuan lmam Syafi'i yang di-washalkan oleh lmam lbnu Abi Syaibah bahwa sesungguhnya para shahabat tidak mau mengulang shalat jamaah di dalam satu masjid.

Hal demikian itu disebabkan, (andai) kita melakukan pembenaran bahwa shalat jamaah yang kedua atau yang ketiga itu disyariatkan (oleh agama) di dalam satu masjid, kemudian pada sisi lain ada ancaman yang sangat keras dari Rasulullah bagi orang-orang yang meninggalkan shalat jamaah, maka (timbul pertanyaan, ed) shalat jamaah yang keberapa yang apabila ditinggalkan akan mendapat ancaman yang sangat berat sekali?

Apabila (pengandaian) ini dijawab dengan ucapan, "Shalat jamaah (yang apabila ditinggalkan itu mendapat ancaman sangat berat) adalah shalat jamaah yang pertama".

Pengandaian ini juga bisa dilanjutkan dengan perkataan:

"Kalau begitu, jamaah yang kedua dan lainnya tidak disyariatkan?"

Kalau dijawab "Ancaman ini meliputi atau mencakup atas orang-orang yang meninggalkan jamaah, keberapa saja" maka jawaban itu bisa ditimpali: "Kalau begitu ancaman Rasulullah tidak bisa dibuat hujjah untuk orang-orang yang tidak mengikut jamaah yang keberapa pun, karena andai kata orang-orang yang tidak mengikuti jamaah itu didatangi secara mendadak, saat mereka tidak berangkat (ke masjid, ed) dan kita menemukan mereka sedang santai-santai saja

dengan anak dan isteri dan apabila ditegur mengapa tidak mengikuti shalat jamaah?

Maka, mereka akan menjawab: "Kami akan mengikuti jamaah yang kedua saia, atau yang ketiga saja." Bila begitu, apakah ancaman Rasulullah itu dibuat hujjah atas mereka?


Oleh kerana itu bila Rasulullah berkehendak mencari ganti seseorang yang menduduki kedudukan beliau (sebagai imam) dalam shalat berjamaah, lantas beliau mendatangi rumah-rumah orang yang meninggalkan shalat berjamaah untuk membakarnya merupakan dalil yang sangat besar sekali untuk mengatakan bahwa shalat jamaah kedua, ketiga kali di satu masjid adalah tidak ada sama sekali.


Demikianlah bila dikaitkan dengan dalil-dalil naqli yang telah menjadi pedoman para ulama.

[Disalin dari buku HUKUM SHALAT JAMA'AH KEDUA, oleh Syaikh Muhammad

Nashiruddin Al-Albani, Penerbit Yayasan Al-Madinah

0 Comments: