Ahlan Wa Sahlan

IQRO ( BACALAH )

Bacalah dirimu, Bacalah dari apa engkau dijadikan

Bacalah kejadian demi kejadian, Bacalah masa lalu, dan apa-apa yang ditinggalkan, Bacalah masa kini, dan apa-apa yang ada disekitarmu, Bacalah masa yang akan datang dan apa-apa yang akan dan tentu terjadinya.

Sungguh ALLOH telah memberimu berlimpah-limpah, dan tegak kanlah kebenaran itu dengan daya juang yang tak kenal payah dan henti ( sabar),......................

Selamat datang ana ucapkan kepada akhi dan ukhti, semoga apa yang tertulis di blog ini bermanfaat bagi kita dalam menSyiarkan Islam, serta sebagai media bagi kita untuk saling bersilaturahmi.

Kritik dan saran dapat di sampaikan ke is.majid@gmail.com

Wassalam

AddThis

Bookmark and Share

Kamis, 01 November 2007

Golongan Main Akal

Ada lagi kelompok sesat yang punya pemikiran menyimpang, punya sejarah klasik sebagai kelompok pembuat huru-hara, penghasut pemerintah, dan kini hadir lagi dengan gaya barunya, lebih trendi dan lebih aktraktif. Kaum terpelajar, mahasiswa, dosen, juga kalangan muda yang sedang tumbuh ranum pola pikirnya, menjadi korban arus pemikiran ini. Siapa lagi, kalau bukan kaum Rasionalis, para pendewa akal.

Bahaya Rasionalisme

Dari awal Islam, Nabi telah mengingatkan :

“Barangsiapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan akalnya, bersiap-siaplah mendekam dalam api Neraka.” [Riwayat Tirmidzi]

Dalam riwayat lain, ” Barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan akalnya, lalu penafsirannya itu benar, ia tetap keliru.”

Dalil-dalil senada banyak. Semua merupakan salah satu kaidah penafsiran Al-Qur’an yang tidak boleh ditafsirkan dengan akal semata. Selain itu, dari hadist tersebut dipahami, keharusan memelihara penggunaan akal, agar tidak digunakan pada yang bukan merupakan haknya.

Umar bin Khattab berkata: “Hati-hatilah kalian terhadap para pendewa akal (Rasionalis). Mereka tidak mampu menghapal hadist, sehingga mereka berbicara dengan akal mereka saja.”

Akar Pemikiran Rasionalis

Mereka mendasari pemikiran mereka dengan hadist:

”Agama adalah akal, dan tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal.”

Padahal, hadist itu batil, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah dalam Silsilah Hadist Dha’if jilid pertama, hadist pertama.

Muatan hadist itu sendiri adalah batil. Memang, bagian terakhirnya masih dapat dibenarkan, bahwa orang yang tidak berakal dalam Islam adalah orang yang tidak mukallaf, yakni tidak mendapatkan beban hokum syariat. Tetapi bagian pertamanya adalah keliru. Itulah yang menjadi pangkal kekeliruan kaum Rasionalis. Matan bagian pertama hadist batil itu jelas bertentangan dengan riwayat dari Ali dalam Bukhari dan Muslim bahwa ia berkata ; “Kalau seandainya agama itu berdasarkan akal, tentu bagian bawah khuff (sejenis sepatu yang boleh dibasuh ketika berwudhu) lebih layak untuk dibasuh daripada bagian atasnya.”

Padahal yang disyariatkan adalah membasuh bagian atasnya, bukan bagian bawahnya.

Akal memang diperlukan dalam memahami din ini, namun bukan sebagai penentu pemahaman atau pemutus persoalan. Akal digunakan untuk menyerap penjelasan yang diberikan oleh Nabi, kemudian dijabarkan kembali oleh para ulama salaf dalam ucapan dan pemahaman mereka. Akal hanya digunakan oleh para ulama untuk membuat kaidah-kaidah umum dari berbagai dalil dari Kitabullah dan Sunnah Nabi. Kaidah-kaidah umum yang secara tersurat maupun tersirat memang sudah terdapat dalam muatan Al-Qur’an dan Hadist.

Namun kaum Rasionalis justru menjadikan akal mereka sebagai standar kebenaran. Mereka menolak keabsahan hadist bila tidak sesuai dengan daya nalar mereka yang memang sudah rusak karena salah penggunaan. Mereka menafsirkan Al-Qur’an dengan sekehendak mereka, disesuaikan dengan tuntutan public, atau selera orang banyak, atau ambisi pribadinya. Mereka sungguh kelompok sesat yang amat berbahaya.

Rasionalis, Dulu dan Sekarang

Pemikiran rasionalisme telah muncul semenjak akhir abad kedua hijriah, dengan munculnya pemikiran Mu’tazilah. Sebuah pemikiran yang mengacu pada penggunaan akal secara bebas dalam menafsirkan Al-Qur’an dan Hadist. Mereka memiliki pedoman dasar:

1. Tauhid. Tauhid menurut mereka menolak sifat-sifat Allah

2. Al-Manzilatu bainal Manzilatain. Yakni keyakinan bahwa orang yang berdosa besar, bukan mukmin dan bukan kafir

3. Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Yakni dibolehkannya melakukan pemberontakan terhadap pemerintah muslim, karena kedzaliman mereka.

4. Infazul Wa’id. Yakni bahwa orang yang berdosa besar akan masuk neraka selama-lamanya.

5. Al-Adl, yakni keadilan. Keadilan menurut mereka, bahwa seorang hamba bebas menentukan jalan hidupnya sendiri, tidak menuruti ketentuan takdir. Itulah keadilan Allah menurut mereka.

Seluruh pondasi dasar itu berasal dari sikap gila-gilaan mereka dalam menggunakan akal, sehingga pada pondasi dasar pertama, mereka terjerumus menjadi kaum menolak sifat Allah. Dalam pondasi kedua, mereka menjadi golongan yang memvonis mukmin yang berbuat maksiat sebagai setengah mukmin dan setengah kafir. Dalam pondasi ketiga, mereka menjadi kaum khawarij yang meghalalkan peperangan dan pemberontakan terhadap pemerintahan muslim. Dalam pondasi keempat, mereka juga seperti kaum khawarij yang menganggap pelaku dosa besar sama dengan orang kafir. Selamanya dalam neraka. Dalam pondasi terakhir, mereka menjadi seperti kaum qodariah yang menolak takdir.

Walhasil, mu’tazilah dengan rasionalisme kentalnya, menjadi gudang pemikiran sesat. Orang-orang seperti mereka, bisa muncul dimana saja dan kapan saja. Dengan nama berbeda, namun isi sama.

Mu’tazilah Modern

Sekarang, pemikiran mu’tazilah sudah berkembang pesat dengan bungkus dan penampilan berbeda. Hati-hati saja, hamper setiap pengajian kelas menengah ke atas, sudah menggunakan Rasionalisme ala mu’tazilah. Mungkin mereka tidak mengenal pondasi-pondasi pemikiran mu’tazilah, namun akar pemikiran mereka sama persis: Pendewa Akal.

Lucunya, banyak juga kalangan Tashawuf yang membungkus diri dengan pemikiran rasionalisme ini. Dalam sebagian majelis tashawuf, tidak kita dapati model pengajian yang lusuh, kolot dan kuno gaya asli tashawuf. Tetapi mereka dengan lincah, menggunakan akal mereka untuk memperkuat argumentasi ke tashawufan mereka. Gaya penyampaian yang indah dan menarik, bahkan terkesan lugu namun logis, menciptakan nuansa baru ajaran Tashawuf yakni tashawuf modern, tashawuf rasionalis.

Seperti pendahulunya, kaum Rasionalis sekarang kayaknya menganggap diri mereka paling pinter. Kaum mu’tazilah dulu sering berkata: “Kaum Salaf itu lebih selamat, tetapi kami lebih pinter.” Terkadang mereka berbicara: “Kaum Salaf itu lebih pinter, tapi kami lebih bijaksana.” Kaum Rasionalis sekarang bilang: “Ulama lain sekarang mungkin lebih melek hokum, tapi kami lebih intelek!” sehingga melekatlah gelar untuk mereka sebagai: “Intelektual Ulama?”

Ulama Intelek?

Imam Nawawi berkata dalam Mukaddimah Tadriebur Rawi: “Ulama (hadist) paling tidak adalah orang yang telah menguasai bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Balaghah dan lain-lain, menguasai ilmu Ushul Fikih, ilmu Ushul Hadist, telah mempelajari dengan baik paling tidak kitab-kitab hadist yang tuuh: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah, Sunan An-Nasa’I dan Musnad Imam Ahmad, ditambah telah hafal sejumlah besar hadist, puluhan atau ratusan ribu hadist…”

Dengan penjelasan diatas, penjelasan sejenis juga pernah diungkapkan oleh Ibnu Taimiyyah dan sering disebut-sebut dengan bahasa berbeda oleh para ulama, jelas bagi kita, bahwa menjadi ulama saja satu hal yang amat tidak mudah, atau hal yang amat sulit, kecuali dengan rahmat Allah. Dengan kondisi demikian, tidak perlu lagi tambahan sifat “intelek” dibalik gelar ulama. Menjadi ulama saja sudah syukur kok, mau jadi intelektual ulama. Jangan mimpi dong.

Waspadai Pemikiran Cendawan-cendawan Muslim

Kita harus ekstra hati-hati menghadapi pemikiran “benalu-benalu” di kalangan dai muslim yang mendewa-dewakan akal. Cirri khas mereka tampak, bahwa mereka terlihat lenih bangga terhadap kaum orientalis atau pemikir-pemikir Islam sejenis mereka. Kaum Orientalis dianggap oleh mereka lebih objektif memandang Islam, karena tidak terpengaruh oleh fanatisme golongan, seperti umumnya kaum muslimin. Sehingga banyak persoalan hokum yang sudah baku mereka utak-atik, dengan dalih berijtihad. Selain itu, seperti kaum ahli bid’ah lainnya, mereka jauh dari hadist-hadist Nabi, terlalu mudah menggunakan hadist-hadist lemah bahkan palsu. Lebih-lebih lagi, mereka bahkan dengan nekat membuat kaidah-kaidah baru, kalau perlu ilmu Musthalahul Hadist baru. Jangan-jangan nanti Islamnya juga baru…?

Dengan gaya seperti itu, mereka lebih layak disebut cendawan-cendawan muslim. Karena kerja mereka hanya mendomplengi Islam dan kaum muslimin, untuk menyebarkan pemikiran mereka yang berasal dari alam antah berantah. Mereka tampak aneh sekali dan cenderung “nyeleneh”. Tetapi tentu bukan seperti anehnya Ahlussunnah di akhir zaman.

Bila pemikiran Tashawuf sudah banyak mendapat tempat di berbagai areal dakwah sekarang ini, pemikiran Rasionalis juga dengan cepat merambati kalangan muda-mudi Islam, khususnya kalangan Mahasiswa. Dibutuhkan keuletan dan kerja keras untuk menghadapi bahaya arus pemikiran mereka. Thalabul Ilmi atau belajar Islam dengan serius dan kembali kepada Pemahaman Salafus Shaleh dan menyelami fatwa-fatwa ulama Ahlussunnah adalah solusi tepat untuk mengatasinya.

Wallahu A’lam.

Sumber : Majalah El-Fata Edisi 07/I/2001 hal. 24-27

0 Comments: