Ahlan Wa Sahlan

IQRO ( BACALAH )

Bacalah dirimu, Bacalah dari apa engkau dijadikan

Bacalah kejadian demi kejadian, Bacalah masa lalu, dan apa-apa yang ditinggalkan, Bacalah masa kini, dan apa-apa yang ada disekitarmu, Bacalah masa yang akan datang dan apa-apa yang akan dan tentu terjadinya.

Sungguh ALLOH telah memberimu berlimpah-limpah, dan tegak kanlah kebenaran itu dengan daya juang yang tak kenal payah dan henti ( sabar),......................

Selamat datang ana ucapkan kepada akhi dan ukhti, semoga apa yang tertulis di blog ini bermanfaat bagi kita dalam menSyiarkan Islam, serta sebagai media bagi kita untuk saling bersilaturahmi.

Kritik dan saran dapat di sampaikan ke is.majid@gmail.com

Wassalam

AddThis

Bookmark and Share

Jumat, 19 September 2008

Manusia Dan Syukur

Cerita tentang perjuangan untuk bersabar dan bersyukur, di abad milenium ini, menghampar di setiap lingkungan.

Komunitas atau organisasi juga bukan hanya menjanjikan kenikmatan dan masa depan.

Tapi, ujian-ujian hati pun ikut merona.

Di lingkungan perusahaan ?

Jangan ditanya lagi.


Dunia kerja adalah dunia dinamika. Sehingga, manusia-manusia yang terlibat di dalamnya pun senantiasa dituntut, untuk terus giat menyuguhkan semangat, kemampuan, kepatuhan, dan loyalitas. Empat elemen itu akan membentuk penilaian tentang seorang pekerja. Buah nyatanya; jabatan atau kedudukan, gaji, tunjangan-tunjangan, dan fasilitas.

Karena "buah nyata" itulah, setiap pekerja dipacu untuk berlomba, bersaing, dan berkompetisi satu sama lain, untuk mendapatkan penilaian tertinggi di bidangnya masing-masing. Caranya, tentu saja, berbeda-beda.

Ada yang lebih menekankan pada faktor kemampuan. Ada juga yang lebih menekankan pada faktor semangat.

Ada juga yang lebih menekankan pada faktor kepatuhan.

Dan, tentu saja, ada juga yang lebih menekankan pada faktor keberuntungan.

Lain lubuk lain belanga, lain lubuk pula ikannya. Lain perusahaan lain pula kebijakannya. Lain atasan lain pula aturan mainnya.

Maka, pekerja adalah obyek-obyek yang "dipaksa" memainkan elemen-elemen yang sudah dijelaskan di atas, untuk memuaskan kebijakan perusahaan dan aturan main sang atasan. Target pribadinya, ya mendapatkan "buah nyata" tadi.

Sederhana sekali teorinya. Tapi tidak pada tingkat praktik.

Karena memainkan masing-masing elemen pastinya akan bersentuhan dengan banyak hal; tatanan profesionalisme, kepribadian, norma-norma, juga agama. Ketika sentuhan-sentuhan itu berdampak pada kelemahan, maka pekerja pun mencoba mengalihkannya pada hal lain yang memperlihatkan keunggulan.

Kemampuan yang tidak memadai, bisa diimbangi dengan semangat tinggi. Atau, ditambah lagi dengan kepatuhan.

Pada akhirnya, semangat dan kepatuhan, menjadi elemen utama. Sedangkan, keberuntungan sama artinya dengan takdir.

Suratan untuk mendapatkan durian jatuh.

Di saat seperti itu, muncullah pribadi-pribadi yang tidak sabar. Mereka abaikan persaingan sehat yang menekankan pada kompetisi kemampuan atau semangat. Sebaliknya, mohon maaf, mereka "bermain" melalui jalan belakang, menyalib dari kiri dan kanan, mengabaikan antrian, untuk secepatnya mempersembahkan kepatuhan yang berlebihan kepada atasan.

Baju kamuflasenya adalayah loyalitas.

Suka tidak suka, sah tidak sah, halal tidak halal, atau fair tidak fair, kenyataan hal itu terjadi di perusahaan mana pun.

Bahkan, perusahaan dengan skala internasional.

Dan, banyak orang yang berhasil menggapai impiannya dengan cara seperti itu.

Sebaliknya, di saat bersamaan, muncul pula karyawan atau staf yang kariernya sedang anjlok, terkena "degradasi", stagnant, bahkan kandas !

Seorang kreator di Production House ternama bercerita soal masalah-masalah di kantornya. Banyak film dan sinetron yang sudah dihasilkan oleh para kreatornya. Pekerjanya juga cukup besar, sekitar 500-an orang. Termasuk besar untuk ukuran production house. Seiring dengan itu, manajemen organisasi dan konfliknya pun berkembang pesat.

Karena, tiba-tiba saja banyak bidang yang dibentuk dan pejabat baru yang mesti didudukkan.

Sayangnya, mereka bukan hanya tidak kapabel. Tapi, akhlaknya juga tak jelas. Karena, maaf, mereka hanya handal dalam memperlihatkan semangat dan kepatuhan. Banyak istilah jelek untuk menggambarkan prilaku dan sikap tersebut.

Sehingga, kurang baik rasanya, bila harus diuraikan secara gamblang. Namun, contohnya bertebaran di mana-mana.

Kondisi tersebut tersebut sebenarnya terbilang aneh, secara teori. Tapi tidak, secara praktik.

Aneh, bila ada perusahaan, dengan atasan sebagai kepanjangan tangannya, menempatkan tenaga-tenaga ahli dan terampil di tempat yang tidak semestinya. Sebaliknya, pekerja yang belum matang justru ditempatkan di atas. Bahkan, atasan juga tidak malu-malu meng"impor" orang baru untuk posisi penting itu. Sepertinya, perusahaan tengah membangun "teori" manajemen sumber daya manusia tersendiri. Walaupun maknanya adalah pelanggaran prinsip the right man on the right place.

Akhirnya, banyak karyawan yang undur diri. Resign. Dan, tidak sedikit dari mereka mendapatkan nasib yang lebih baik.

Sehingga, hal itu membangkitkan inspirasi bagi karyawan lain untuk berbuat hal yang sama.

Mereka juga mesti bersiaga untuk mundur, lantaran merasa tidak bakal mendapatkan nilai lebih lagi ? Istilah mencoba ber"hijrah".

Sebenarnya, cerita pekerja kreatif di lingkaran production house yang harus menggunakan jurus akrobatik, dengan berpindah dari satu kantor ke kantor lain, lumrah saja. Tujuan utama sudah pasti, pendapatan yang lebih besar. Bukan semata-mata benturan idealisme.

Yang bakal jadi cerita, bila sang karyawan kadung cinta dan merasa menanam banyak budi pada perusahaan. Sehingga, ia jadi merasa "rugi" bila harus meninggalkannya. Sayangnya, harusnya disadari juga, pemikiran seperti itu belum tentu terlintas di benak atasan kita. Karena itu, bila hanya kita yang memikirkannya, tentu saja, mubazir jadinya.

Kalau "hijrah" itu dimaksudkan untuk mendapatkan suasana baru, atasan baru, teman-teman baru, dan mungkin juga gaji baru, mungkin masuk di akal. Tapi, pertimbangkan juga, apakah hal itu membuat kita merasa nyaman dan bahagia ?

Jangan-jangan situasi politik di kantor baru juga tidak jauh berbeda ? Khawatir, sekedar memindahkan setting masalah saja. Ganti scene. Tapi, kalau pertimbangannya dibuat lebih matang, lebih profesional, misalnya dengan melihat komponen-komponen; biaya transfer yang menggiurkan, gaji dan tunjangan yang lebih besar, serta posisi yang lebih mulia, kenapa harus ditolak ?

Sebaliknya, kita akan menjadi sangat tidak bijaksana - untuk diri dan keluarga kita sendiri - bila berpikir untuk pindah kerja atau pindah kantor, hanya karena ingin lari dari masalah. Karena, bukan itu pemecahan masalahnya.

Artinya, kita benar-benar harus mempertimbangkan prinsif profesionalisme. Bukan emosi. Bukan karena kecewa, sakit hati, frustrasi, putus asa, atas apa-apa yang didapat secara materi.

Padahal, dengan posisi yang tidak nyaman seperti saat ini, kita tetap menerima hak-hak kita. Yang ia tidak didapat, barangkali sekedar kebanggaan dan kemuliaan di mata atasan. Sehingga, hal itu menjadi siksaan hebat bagi batin kita.

Bahkan, gaji yang tidak dipotong, fasilitas yang tidak dikurangi, dan tunjangan yang masih didapat, ternyata tetap tidak membuat kita nyaman. Hati ini akan terus meronta dan memaksa, untuk bergegas mencari tempat baru.

Meskipun demikian, bila sebagian dari kita masih merasa diparkir, terkena degradasi, atau masuk kotak di lingkungannya, memang tidak perlu terburu-buru mengambil keputusan ekstrim seperti para kreator di Production House tersebut.

Ingat-ingat kembali cerita tentang rerumputan yang menghadirkan jutaan inspirasi, untuk berdiri tegak di tempatnya berpijak. Saatnyalah tidak bermain-main dengan emosi yang tidak terkendali. Sebaliknya, manfaatkan secara maksimal spirit sabar dan syukur di dalam hati ini.

Memang dibutuhkan ketegaran, untuk terus berdiri di tempat yang pernah memberikan surga bagi kita. Bila kita masih percaya dan yakin bahwa tempat tersebut masih menjanjikan, kenapa pula harus berpikir adanya surga baru di tempat lain ?

Pertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi. Rumput tetangga kadang lebih hijau. Tapi, apakah hijaunya itu bisa menyejukkan hati kita ? Belum tentu.

Sabar lagi, sabar lagi.

Sabar untuk menerima semua beban dan masalah. Sabar juga untuk melewatinya sampai titik darah penghabisan.

Sesungguhnya Allah memang mencintai hambaNya yang senantiasa bersabar.

Karena itu, yakinlah, Allah akan merubah nasib kita. Persoalannya, cuma tidak tahu kapan.

Waktu memang akan menjadi misteri yang terhebat. Sebaliknya, syukuri juga apa-apa yang didapat dan diterima diri ini.

Apapun rasanya.

Apapun bentuknya.

Dan, dengan terus bersabar dan bersyukur ...

kita bangun kegemilangan masa depan.

0 Comments: