Di balik gedung-gedung megah di Ibukota Negara, kita tak pernah sadari, betapa banyak orang-orang yang mendapat anugerah melimpah dari Yang Mahakaya. Namun di saat bersamaan, mereka juga terus ditempa cobaan hidup.
Jika tidak percaya, cobalah masuki persoalan-persoalan di lingkungan perusahaan.
Cerita menarik tentang seorang staf pelaksana atau office boy, semoga saja, bisa menjadi contoh nyata Puang Matowa Saidi versi kaum urban. Sebenarnya, ia pernah kuliah empat semester. Sebelum krismon kemarin, ia juga pernah bekerja di perusahaan asing.
Tapi, akhirnya kena PHK. Daripada menganggur, ia pun rela banting-stir dengan pekerjaannya yang sekarang. Sekedar upaya untuk mempertahankan hidup. Maklum, anaknya dua.
Di kantornya yang dulu, ia juga sering dapat konflik. Tapi, ia tetap diam dan mengalah. Akhirnya, ia terus diinjak. Nggak pernah dianggap berprestasi. Salah sedikit langsung mendapat teguran keras. Sebaliknya dengan teman-temannya yang tidak terlalu menonjol, tapi justru mendapat tempat.
Meskipun begitu, ia tetap pasrahkan diri pada kehendakNya. Zikir tanpa berhenti. Zikir sekuat-kuatnya. Melawan masalah dengan zikir. Sehingga, ia jadi merasa benar-benar dekat denganNya. Dekat sekali.
Suatu malam, seusai melaksanakan shalat tahajud, ia melanjutkannya dengan berzikir. Lama sekali. Tapi, lama-kelamaan bukan kenikmatan yang didapat. Sebaliknya, justru keresahan. Tiba-tiba ia digoda untuk berpikir kembali tentang nasibnya, nasib teman-temannya yang lebih baik, dan konflik-konflik di tempat kerjanya. Selama ini ia sudah mengalah. Mencoba tawakal. Tapi, nasibnya justru kian terpuruk. Ia coba adukan dan larikan masalah ke Gusti Allah, tapi ia tetap saja office boy.
Ia ingat, teman-temannya yang begitu pintar mendekati dan bisa mengakrabkan diri dengan sang atasan. Padahal, cara hidup dan keyakinan teman-temannya itu berbeda jauh dengan sang atasan. Anehnya, mereka bisa membaurkan diri dan mengikuti cara hidup sang atasan. Dampaknya, nasib mereka memang berubah. Paling tidak mendapat perhatian lebih dibandingkan dirinya.
Seketika, muncul prasangka liar di benaknya, kenapa justru teman-teman yang munafik bisa lebih berhasil(?)
Mereka memenangkan persaingan dengan mudah?
Sementara orang-orang yang sudah benar-benar berserah diri, kok tetap kalah?
Tiba-tiba ia su'udzon atau berburuk-sangka kepada Tuhan. Ia tidak percaya akan sifat MahaadilNya. Ia ragu akan sifat MahabijaksanaNya.
Saat itu, ia pun langsung menghentikan zikirnya. Membanting tasbih ke lantai. Dan, berhenti bercengkerama denganNya.
Tiba-tiba ia marah kepadaNya. Tapi, tetap saja, ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia justru terus larut dalam kebingungan.
Cerita atau fakta tentang kesabaran memang tidak akan pernah habis untuk diungkap. Banyak firman dan hadits yang mengurai tentang makna dan buah yang dijanjikan Allah atas nama kesabaran. Sejatinya, kita perlu bersyukur, bila mendapat persoalan demi persoalan yang berkaitan dengan ujian kesabaran. Karena, kita bakal mereguk petunjuk dan fakta baru soal nilai sebuah bersabar.
Ujian sabar memang tanpa batas. Dari tahun ke tahun, bulan ke bulan, minggu ke minggu, hari ke hari, jam ke jam, menit ke menit, detik ke detik, ya Allah senantiasa menuntut sabar kita. Selalu begitu. Kepada siapa pun dan di mana pun.
Kita seakan tengah dibimbing untuk mengambil percikan sabarNya. Karena, sesungguhnya hanya Dia Yang Maha sabar.
Hampir setiap orang pernah mengalami goncangan seperti sang office boy - meski tidak seberat Puang Matowa Saidi.
Bekerja sudah sangat keras. Tapi, jangankan pujian, belai hangat atas hasil kerja itu pun tak ada.
Naasnya, bila mereka juga harus terlempar dari persaingan alias diPHK. Kalah dibanding teman-teman yang rela menjadi safety player - orang yang menghalalkan segala cara untuk mengamankan posisi.
Hebatnya, banyak juga orang-orang yang senasib dengan sang office boy, mencoba mengalihkan pikiran dan hati-nya pada masalah-masalah agama. Mendekatkan diri padaNya. Pelarian, awalnya. Namun, lama-kelamaan, terasa manfaatnya. Mereka merasa sangat dekat, sangat dekat, dan benar-benar dekat padaNya.
Di sisi lain, ujian dan cobaan terus datang bertubi-tubi. Subhanallah.
Perjalanan menjadi manusia baik, manusia suci, manusia sempurna, ibaratnya seperti kita menaiki perahu untuk melintasi samudera. Semakin meninggalkan daratan, maka semakin besar ombak yang memainkan perahu kita. Semakin memasuki perairan yang dalam, maka semakin besar gelombang yang menggoyang perahu kita. Persis seperti selembar daun yang dimainkan pusaran air.
Karena itu, dengan kualitas dan kuantitas ibadah yang telah kita jalani, dan dengan tekad bulat untuk mendekatiNya secara total, maka kita akan dihadapkan cobaan dan ujian yang lebih berat dibandingkan manusia biasa. Sebutan "manusia biasa" adalah sekedar membedakan tampilan seseorang berdasarkan kualitas dan kuantitas ibadahnya.
Meskipun pada bingkai penilaian yang lebih luas, ujian kesabaran buat kita itu, sebenarnya sangat tidak sebanding dengan derita Imam Hasan bin Ali as yang tewas diracuni oleh istrinya sendiri. Atau, dibandingkan dengan kesengsaraan Imam Husein bin Ali as yang bersama saudara-saudaranya dibantai di Karbala. Atau, cobalah rasakan kepapaan Imam Ali bin Husein as, yang terus menerima hinaan dan warisan kesengsaraan setelah kakek dan ayahnya wafat. Subhanallah, kita tidak ada seujung kukunya.
Perjalanan sabar memang melelahkan. Tapi, tetap harus kita lakoni. Jangan pernah berpikir sabar ada batasnya. Itu keliru.
Sabar tak berbatas dan bertepi. Ia laksana samudera nan luas dan tak bertepi. Teruslah menikmati goncangan dan ayunan gelombangnya. Hanya dengan cara ini, kita bisa mengalahkan kegalauan di hati kita.
Persisnya, cobaan atau ujian tentang kesabaran.
Karena itu, ujian yang diterima oleh sang office boy itu pun terhitung ringan, bila dibandingkan dengan cobaan yang diterima oleh para pejuang Allah - seperti diceritakan di atas. Bahkan, dibandingkan Puang Matowa Saidi.
Karena, pada dasarnya, ia tetap memiliki pekerjaan, penghasilan, dan kehormatan. Memang semua itu lebih kecil dibandingkan sebelum-sebelumnya. Tapi, ia tidak terjerumus sebagai fakir. Ia masih bisa memperoleh kebutuhan jasmaninya, meski tidak berlimpah. Atau, lebih sedikit dibandingkan masa kejayaannya.
Bahkan, dengan segala kekurangannya itu, terbukti ia berhasil menempuh perjalanan spiritual yang jauh. Bukankah ia lebih terhormat secara batiniah ? Lalu, kenapa ia jadi tidak bersyukur ?
Lalu, kenapa ia harus menjadi tidak ikhlas atas segala yang didapatnya ?
Bukankah, ia telah arungi samudera sabar dan rimba syukur dengan keceriaan ?
Sejatinya, cobaan, ujian, teguran, dan perhatian, adalah bagian dari upayaNya untuk mengukur kesabaran kita. Kesabaran seorang manusia sebagai khalifah di muka Bumi. Hanya orang-orang terpilih yang berhak atas ujian tersebut. Terlebih lagi, setelah kualitas dan kuantitas spiritual orang tersebut di atas rata-rata, maka tingkat ujiannya pun akan lebih sulit.
Pertanyaan dariNya begitu sederhana; maukah kamu bersabar ?
Kita diminta untuk bersabar. Kita ibarat anak sekolah yang tengah menghadapi ujian hidup dengan pengawasan langsung dari sang Guru. Maka, alangkah berbahagianya, bila saat ini kita mendapat pengawasan langsung dari sang Penguji ?
Bila kita sudah meraih kembali hidayah kesabaran kita, saatnya untuk menghantarkan terima kasih untuk Gusti Allah.
Artinya, kita pun harus segera menghaturkan ungkapan syukur nan mendalam. Berterima kasih atas limpahan rejeki, rahmat, hidayah, petunjuk, dan kesabaran. Tidak perlu lagi kita mempermasalahkan berapa banyak orang lain mendapatkan gaji, posisi, kedudukan, atau jabatan. Itu adalah pribadi yang tak bersyukur.
Nikmatilah keberkahan atas apa-apa yang sudah diberikanNya.
Karena, sesungguhnya hanya Dialah Yang Maha kaya dan Maha mencukupi.
Berapa pun gaji atau rejeki yang kita dapat, ternyata tetap saja bisa mencukupi kebutuhan kita. Tidak terlalu mewah, memang. Rasakan makna sifat Allah yang Mahamencukupi itu. Bahkan, dengan posisi atau kedudukan yang digenggam sekarang, sesungguhnya tidak membuat kita ternistakan atau terhinakan. Relatif sifatnya.
Mungkin ada yang menganggap diri kita begitu kecil atau hina. Tapi ada juga yang menganggap sebaliknya. Bila kita sudah merasakan syukurNya, bisa dipastikan, tidak akan terpikir dalam benak kita untuk mempermasalahkan kedudukan atau posisi kita di masyarakat. Biarlah Allah yang mengatur, bagaimana posisi kita yang sebenarnya di lingkungan sosial kita.
Percayalah, tidak semua orang bisa mendapatkan ujian atau cobaan. Karena tidak setiap orang bisa mendapatkan hidayah atau petunjuk. Allah hanya memilih pada orang-orang yang dianggap tepat. Dan, ujian-ujian itu akan terus diberikan ketika Allah menilai orang itu layak untuk beranjak ke tingkatan spiritual yang lebih tinggi.
Kerap teguran seperti itu merupakan petunjuk bahwa kita diminta untuk tidak ujub - terlalu berbangga dengan perjalanan dan pencapaian spiritual kita. Sehingga, Allah khawatir kita menjadi lengah dan terpeleset.
Tapi, Allah percikan juga lalai, bosan, atau kecewa, atas semua ibadah yang kita lakukan, sekedar memberitahukan bahwa kita harus terus terjaga dan waspada.
Berpegang-teguh atas apa yang didapat atau diterima dari Allah swt adalah sifat tumarima. Maknanya adalah keikhlasan.
Dengan pondasi sabar yang kokoh dan dinding syukur yang tegar, jelas sangat mustahil bila kekuatan di dalam pikiran, hati, dan jiwa, akan goyah. Karena, pondasi dan dinding spiritual itulah yang menopang kegagahan diri.
Saat kita belum merasa bersyukur, ingatlah limpahan rahmat dan hidayah yang Allah kepada kita.
Panca indera dan organ tubuh berfungsi dengan baik lantaran Allah memeliharanya. Nikmat sehat dan lezatnya makanan lantaran Allah masih memelihara indera perasa kita. Allah memang memelihara segalanya; sehat dan sakit kita, gembira dan sedih kita, keberhasilan dan kegagalan kita. Di belakang itu, sudah pasti ada rencana-rencanaNya.
Dan, jika kita masih bertahan dengan masalah-masalah seperti itu, sama artinya, kita tidak berhasil melangkahkan kaki kita menuju kesempurnaan hidup. Dalam artian, perjalanan spiritual kita selalu terjengkang ke belakang.
Ketika hati dan jiwa kita sudah terasa kokoh, kita tidak perlu mempertanyakan kenapa jabatan atau posisi kita seperti ini ?
Kenapa kenaikan gaji kita cuma sebesar ini? Kenapa juga seluruh pekerjaan kita tidak pernah diapresiasi ?
Kenapa juga orang-orang munafik lebih berhasil ?
Karena, kalau mulut kita masih tidak tahan untuk mempertanyakan pertanyaan ini-itu kepada atasan, teman kerja, atau siapa pun, sama artinya dengan tidak menekuni kesabaran dan mensyukuri apa-apa yang dilimpahkan olehNya.
Biar bagaimana pun, perusahaan atau atasan sudah memiliki kebijakan tersendiri tentang masalah karyawan atau bawahannya.
Kalau dirasa masih merugikan kita, jangan-jangan hal itu merupakan penilaian sepihak dari kita. Tapi, menurut atasan, beda.
Sehingga, apa lagi gunanya bertanya? Karena, hanya memperlihatkan ketidaksabaran dan ketidaksyukuran.
Yang perlu dilakukan adalah tetap kerja saja sebaik mungkin. Menyangkut bagaimana dampaknya, ya serahkan saja kepada Allah. Ikhlas menerima hasil apa pun. Karena, sesungguhnya hanya Allah Yang Mahakaya dan Mahamencukupi. Perusahaan atau atasan adalah kepanjangan tanganNya. Dan, Allah sudah mengatur semuanya. Kita mesti meyakini hal tersebut.
Taruhlah kita dirugikan atau diperlukan tidak adil.
Maka, ingat kembali soal ujian kesabaran dan tuntutan untuk mensyukuri apa pun yang kita dapat. Hubungan atau korelasi masalah-masalah tersebut sudah jelas. Kembalilah bertanya soal perjalanan spiritual kita. Haruskah mempertaruhkan perjalanan agung kita tersendat-sendat hanya karena kita merasa diperlakukan tidak adil ?
Subhanallah, sungguh kerugian besar buat kita.
Kecewa, apatis, terlalu banyak bertanya, hanya akan mengganggu perjalanan spiritual kita. Tidak perlu mempermasalahkan nasib orang lain. Karena, hanya akan membangkitkan iri, dengki, dan sakit hati. Tapi, berpikirlah tentang proses penyucian hati yang tengah dikerjakan.
Yakinlah, Allah swt senantiasa memilih orang-orang terbaik untuk menerima petunjuk atau hidayahNya.
Meskipun apa-apa yang didapat berupa penderitaan, namun sesungguhnya hal itu merupakan petunjuk untuk mencapai kehendakNya. Pada akhirnya kita memang tengah dibimbing menapaki jalan yang lurus. Jalan yang diridhai oleh Allah swt.
Karena itu, semuanya harus ditelan dengan penuh kenikmatan laksana fakir yang kelaparan.
Semuanya harus diteguk dengan penuh dahaga laksana musafir yang kehausan.
Kali ini hanya ada deretan kata indah, ketika kita berhubungan dengan keputusanNya; hidayah, anugerah, atau rezeki.
Dengan begitu, kita pun memiliki kesungguhan untuk bersabar dan bersyukur.
Dan, semoga saja, kemuliaan segera menghampar di hadapan kita.
0 Comments:
Post a Comment