Ketika matahari siang menyengat ibukota, ratusan orang memadati jalan, dengan deru mesin dan nyaring klaksonnya. Padahal, kemacetan dan kepadatan lalu lintas memang tidak bisa dibendung.
Di atas trotoar, orang-orang tak kalah sibuknya. Satu sama lain saling berebut melewati. Entah karena sudah terlalu lapar atau karena bergegas ingin cepat-cepat kembali ke ruang kerja. Lelaki-perempuan, tua-muda, dengan berbagai profesi, terlihat dalam ekspresi yang sama. Kepanasan, kegerahan, keletihan, dan sulit tersenyum.
Jutaan orang lainnya, entah di Jakarta atau kota-kota lain, mungkin termasuk juga Anda, bisa jadi senantiasa berada dalam situasi seperti itu. Di hari-hari kerja, kita dikurung dalam sebuah rutinitas. Menekuni sebuah karier. Menapaki lahan nafkah. Tujuannya, bisa jadi, beragam. Ada yang sekedar memenuhi kebutuhan keluarga, meningkatkan kekayaan, mencari kebanggaan profesi, atau sekedar mengisi waktu luang(?)
Untuk menggapai tujuan-tujuan itu, kita diikat aturan dan kebijakan perusahaan yang ketat. Aturan manejemen di mana pun senantiasa menuntut seluruh karyawannya, untuk larut dengan kesibukan dan target-target perusahaan. Totalitas selama jam kerja memang menjadi keharusan. Saat itu, seluruh waktu, tenaga, dan pikiran, seakan milik perusahaan semata.
Buah dari lilitan rutinitas itu - di luar income setiap bulan - akan terasa, begitu mahalnya sang waktu. Kita akan sadar betapa waktu yang 24 jam begitu pendek dan sempit. Seakan kita berharap Allah Yang Mahamenghitung memberikan waktu yang lebih panjang setiap harinya. Sehingga kita bisa melakukan lebih banyak lagi kegiatan.
"Bayangkan, pulang-pergi dari rumah ke kantor dan dari kantor ke rumah paling tidak habis dua jam. Itu pun kalau tidak macet. Total, dengan jam kerja yang delapan jam sehari, kita menghabiskan waktu untuk perusahaan sebanyak 10 jam," keluh seorang karyawan perbankan.
Lantas?
"Ya, buat keluarga dan kegiatan lain, paling banyak enam jam. Sisanya, ya tidur!"
Hitung-hitungan kasar tersebut seakan menjadi palu bahwa Allah sebenarnya senantiasa mengingatkan kita tentang masalah tersebut. Kita selalu ditegur soal pergerakan waktu. Persisnya, ketika waktu shalat tiba.
Lalu, kita juga selalu diminta merasakan, betapa waktu bergulir begitu cepat. Manusia senantiasa diingatkan soal pentingnya memanfaatkan waktu. Terutama mengatur kualitas dan kuantitas pertemuan-pertemuan denganNya.
Kualitas dan kuantitas ?
Kalau kita hitung kembali dengan lebih teliti, seperti hitungan tadi; 10 jam untuk perusahaan, enam jam untuk kegiatan lain, dan sisanya yang delapan jam untuk tidur. Artinya, bisa jadi, kita hanya memberikan waktu untuk ibadah hanya beberapa menit.
Taruhlah kita shalat lima menit, berarti waktu untuk Tuhan cuma 25 menit! Itu pun kalau shalatnya tidak belang!
Plus, tanpa menghitung kualitas kekhusuannya.
"Tapi, sesuai amanah Allah kepada Nabi Muhammad, ya memang segitu. Shalat lima waktu dan masing-masing juga tidak membutuhkan banyak waktu," sergah karyawan perbankan tersebut, "Shalat juga kan tidak dimaksudkan untuk memberatkan umat?"
Kalau hitungannya sekedar standar, kita bisa membenarkan pendapatnya. Tapi, bila hitungannya mengarah pada kualitas dan kuantitas? Cobalah hitung kembali perbandingan porsi waktunya, masak waktu yang diberikan untuk perusahaan bisa mencapai 10 jam, sedangkan untuk Tuhan justru hitungannya menit? Alangkah tidak sebandingnya?!
Dan, alangkah kelirunya bila pendapat itu disandarkan pada amanah "standar" Baginda Rasulallah Muhammad saw.
Artinya, sekedar mengikuti praktek ibadah yang bersifat fardhu 'ain, tanpa melihat bagaimana kualitas dan kuantitas ibadah Rasulalllah yang lainnya. Karena, terlalu kecil manusia mana pun - termasuk sahabat atau keluarga beliau - bila dibandingkan dengan takaran kualitas dan kuantitas ibadahnya Rasulallah. Terlalu kecil.
Baginda Rasulallah Muhammad saw melaksanakan shalat sunnah pun laksana shalat fardhu. Semuanya menjadi wajib dan dilakukan secara rutin. Tanpa kenal lelah atau bosan. Itu bila hitungannya pada ibadah yang bersifat fisik atau dhahir atau di wilayah syariat. Bagaimana di wilayah lainnya? Ah, beliau adalah manusia termulia, dan tiada bandingannya di muka Bumi ini.
Kita ?
Sudah pasti, tidak ada seujung kukunya !
Yang menjadi fokus persoalan; ketika Allah mencurahkan hidayahNya soal waktu, maka seyogyanyalah kita akan segera sadar soal putaran waktu yang begitu pendek. Kita memang bisa mengeluh, betapa pergeseran waktu dari pagi ke siang, dari siang ke sore, dari sore ke malam, hingga dari malam ke pagi, terasa begitu singkat. Kita juga akan paham, soal rentang antara waktu shalat yang satu ke shalat yang lain, ternyata begitu sempit. Namun, sekali lagi, hanya orang-orang terpilih yang mendapatkan hidayahNyalah, yang bisa merasakan cepatnya pergerakan waktu tersebut.
Karena itu, janganlah waktu melilit kita sedemikian rupa, sehingga kita tidak berdaya dibuatnya.
Dan, kita dibuatnya takluk untuk menghabiskan seluruhnya untuk keperluan duniawi.
Lalu, kapan untuk Yang Maha mengatur ?
Ah, begitu lalainya manusia. Karena kesibukannya untuk mengais nafkah, karena konsentrasinya untuk mendulang karier, dan karena banyaknya hal yang bisa dijadikan alasan, sehingga untuk menyebut namaNya pun begitu pelit.
Padahal, semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu. Bayangkan, setiap waktu. Artinya, hitungannya bukan lagi tahun, bulan, minggu, hari, jam, atau menit. Tapi, detik !
Tak, tak, tak... Dan, tanpa henti.
Dan, sesungguhnya, Dia tidak membutuhkan nama-nama muliaNya itu disebut. Karena, Dia Mahamulia dan Mahatinggi.
Dia memang tidak membutuhkannya. Sebaliknya, justru kitalah, makhluk yang sengaja disiapkan olehNya untuk menjadi khalifah di muka Bumi ini, harus sadar dan rumasa (tahu diri). KuasaNyalah yang membuat kita bisa merasakan nikmat hidup dan pemeliharaanNya.
Karena itu, cobalah menghitung kembali secara cermat kuantitas dan kualitas pertemuan-pertemuannya dengan Yang Maha menghitung? Jujurkah kita dengan hitungan-hitungan tersebut ?
Biarlah untuk sementara ini, kita jadi berhitungan-hitungan ala ibadahnya pedagang (seperti disindir oleh Imam Ali bin Abi Thalib kw). Karena, di belahan bumi lain, begitu banyak bermunculan manusia-manusia yang telah tercerahkan dan larut dengan jalan lurus ke arahNya laksana Haji Kidung. Sejatinya, mereka pun masih berada di lingkungan kerja yang menuntut waktu dan keseriusannya.
Atau, jangan-jangan kita masih terus berupaya melepaskan lilitan beban masalah dengan senantiasa bersabar ?
Atau, justru kita tengah asyik bersyukur atas segala anugerah yang telah dilimpahkannya ?
Atau, justru kita tengah menjalani kepasrahan hidup, karena telah istiqomah dengan bersabar dan bersyukur ?
Namun, seiring dengan pencapaian-pencapaian telah didapat, apakah juga diimbangi dengan kualitas dan kuantitas ibadah laksana Haji Kidung ?
Karena, bila telah bersabar, tapi kita lupa mengembalikan anugerah tersebut, masih layakkah bagi kita untuk menikmati kemuliaan seperti yang dijanjikanNya ?
Atau, dengan bersyukur nan tanpa batas, tapi kita lalai membayar ribuan anugerah yang datang, masih pantaskah bagi kita untuk merasakan kemuliaan-kemuliaanNya ?
Atau, dengan bertawakal nan tak bertepi, tapi kita juga alpa mengembalikan jutaan anugerah yang singgah, masih layakkah bagi kita untuk membelai kemuliaan demi kemuliaan ?
By ; Pengajian Email
0 Comments:
Post a Comment