Ahlan Wa Sahlan

IQRO ( BACALAH )

Bacalah dirimu, Bacalah dari apa engkau dijadikan

Bacalah kejadian demi kejadian, Bacalah masa lalu, dan apa-apa yang ditinggalkan, Bacalah masa kini, dan apa-apa yang ada disekitarmu, Bacalah masa yang akan datang dan apa-apa yang akan dan tentu terjadinya.

Sungguh ALLOH telah memberimu berlimpah-limpah, dan tegak kanlah kebenaran itu dengan daya juang yang tak kenal payah dan henti ( sabar),......................

Selamat datang ana ucapkan kepada akhi dan ukhti, semoga apa yang tertulis di blog ini bermanfaat bagi kita dalam menSyiarkan Islam, serta sebagai media bagi kita untuk saling bersilaturahmi.

Kritik dan saran dapat di sampaikan ke is.majid@gmail.com

Wassalam

AddThis

Bookmark and Share

Senin, 15 September 2008

Manusia Dan Zuhud

Di kota tempat kita bermukim, pastinya banyak orang-orang yang ditempa ujian bersabar yang tak terkira, Mereka tersebar di setiap lingkungan. Apa pun bentuknya dan apa pun posisinya.

Kita ikuti saja cerita seorang penulis naskah atau scriptwriter di sebuah stasiun televisi ternama di Jakarta.

Beberapa film dan sinetron yang ditulisnya termasuk sukses secara rating dan kualitas. Beberapa film yang ditulisnya juga pernah meraih penghargaan di beberapa festival. Tapi, karena alasan yang tidak jelas, kariernya justru tidak melaju pesat. Selalu setia di posnya yang sekarang. Bahkan, kalah dibandingkan yunior-yuniornya.

Sayangnya, ia sendiri tidak tahu, kenapa hal itu bisa terjadi? Sebaliknya, teman-temannya yang lain, yang kemampuan dan prestasinya biasa-biasa saja, justru mendapat kesempatan promosi dan menikmati banyak kemuliaan.

Kerap, ia dipaksa menulis cerita yang tidak sesuai hati. Atau, ia dipaksa bekerjasama dengan penulis pemula. Tujuan sebenarnya adalah alih kemampuan. Tapi, biasanya, kelak penulis pemula itu akan mereguk prestasi emas. Sedangkan sang scriptwiter, tetap di tempat lamanya.

Kerap juga, perusahaan merekrut penerjemah untuk mengalihbahasakan skenario-skenario dari negara lain, dan dijadikan skenario film kita. Praktek plagiat, sebenarnya. Sementara penulis naskah yang sebenarnya hanya bisa gigit jari. Kalau pun tenaganya dipakai, sebatas menyupervisi. Sehingga, ia tidak memiliki kebanggaan berkarya atau kesempatan berprestasi di tingkat festival.

Padahal, ia termasuk sosok pekerja yang sangat mencintai profesinya. Etos kerjanya jempolan. Ia ikhlas korban waktu dan tenaganya atas nama karya dan prestasi. Bahkan, kerap waktu ibadahnya pun tercecer. Malah, cenderung terbengkalai.

Namun, apa yang didapat ?

Sekedar gaji bulanan. Tiada ada karier. Tidak ada kepastian untuk memperoleh posisi yang lebih baik. Dan, tidak ada harapan memproleh nilai lebih atas seluruh jerih-payah tersebut. Ia tak ubanya pekerjaan kantoran yang mesti masuk jam sembilan dan pulang jam enam. Tidak lebih.

Namun, alam bawah sadarnya berfirasat bahwa ia tengah ditegur olehNya. Karena, ia juga merasa, di waktu-waktu kemarin terlalu mementingkan masalah duniawi. Sehingga, lupa daratan. Lupa dengan masalah lain di luar dunia film. Termasuk, Yang Maha menguasai.

Setelah sadar akan teguran itu, ia pun mencoba memasuki atmosfir lain. Mengalihkan perhatian akal dan hatinya hanya untuk Tuhan. Sehingga, langkah-langkah pengkerdilan, ketidakadilan, atau perlakuan apa pun yang ia terima, dianggap sebagai hidayah.

Atau, merasakannya sebagai petunjuk. Ia juga meyakini bahwa hal itu merupakan cara Tuhan untuk menghapus dosa-dosanya yang kemarin. Sehingga, ia pun benar-benar merasa tengah menikmati wajah sabarNya dan syukurNya.

Ia bertekad untuk terus bersabar menghadapi segala cobaan, ujian, ketidaknyamanan, atau ketidakadilan. Ia akan terus bersabar dengan tingkat kenaikan gaji yang kecil atau kelambanan karier. Ia akan terus bersabar berada di antrian. Allah kan mencintai orang yang sabar.

Ia pun senantiasa bersyukur atas apa-apa yang saya dapat. Gaji yang ia dapat sekarang, pada dasarnya, sudah lebih dari cukup. Ia tidak pernah lagi berpikir tentang orang-orang di atas. Tapi, ia lebih banyak berpikir orang-orang yang berada di bawah. Karenanya, ia akan terus berterima-kasih atas limpahan rahmat, hidayah, petunjuk, dan ujian-ujian, dari Yang Maha memberi.

Artinya ?

Pencapaiannya sekarang bukan lagi gaji atau jabatan. Bukan lagi rating atau festival. Itu semua sudah selesai. Tapi, urusan spiritual. Sungguh, ia sudah merasakan kenikmatan yang luar biasa atas langkahnya yang sekarang. Sehingga, ia pun makin memperkuat tekadnya, untuk memperbaiki akhlak, mengedepankan pengabdian untuk Yang Maha mengatur, dan istiqomah sebagai karyawan yang baik.

Sekaligus, istiqomah sebagai insan yang telah berhijrah secara batiniah.

Dalam artian, merubah pemikiran dan hatinya hanya untuk jalan lurus ke arahNya. Pilihan itu makin menguat, karena tiba-tiba ia pun sudah merasa tua. Tahun ini, ia berulangtahun yang ke-40.

Ada yang menyebutkan second born is in fourty. Usia 40 dianggap merupakan saat kelahiran kedua. Kalangan ahli tasawuf menyebutnya sebagai usia di persimpangan. Usia yang memaksa pemiliknya menentukan pilihan; menjadi kaum muttaqin, menjadi kaum kafir, atau kaum munafik ?

Pilihannya cuma tiga, tapi memilihnya susah.

Menjadi kaum muttaqin atau orang-orang taqwa, maka ia harus sudah memperbaiki akhlak, menyempurnakan prilaku dan sikap, meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah, memperbanyak zikir, menambah terus kebajikan-kebajikan, dan itu sama artinya, dengan menapaki tingkatan-tingkatan spiritual untuk mendekatiNya.

Kalau menjadi kaum kafir, mudah saja, berbuat saja hal-hal yang dilarang dan tidak disukai oleh Allah. Langgar saja firman Allah dan hadits Rasulallah saw. Berpikirlah terus tentang duniawi. Sahlah kekafirannya.

Sedangkan menjadi kaum munafik, maka sama artinya dengan memasuki kehidupan dengan kepribadian-ganda. Senantiasa berupaya menjalani kaum apa saja. Sah untuk berbuat apa saja. Halal melakukan apa saja. Yang penting, tujuan pribadi tercapai. Sedikit basa-basi, berpura-pura menyukai orang lain, bersandiwara, akting, dan larut dalam kebohongan, jadi tampilan setiap waktu.

Naudzubillah.

Ia memilih menempuh "bingksi" baru itu, ketika persoalan-persoalan dunia dirasa makin mengkerdilkan identitasnya sebagai khalifah. Begitu banyak waktu dan energi yang terbuang percuma. Tapi, ia tidak memperoleh apa-apa dari seluruh perjuangannya itu. Belajar dari kekalahan demi kekalahan itu, ia justru mencoba berubah dan membidik target hidup lain.

Dan, ia meresepi betul cobaan demi cobaan yang membuntukan karier dan masa depannya. Sehingga, ia pun membelokkan tujuan hidup pada hal yang paling hakiki. Ujian hidup berubah menjadi hidayah, sehingga mampu mengarahkan pada jalan yang lurus itu. Ia menjadikan hidayah sebagai awal kebangkitan, untuk menapaki masa depan yang lebih indah. Namun, bisa jadi, tidak lagi "modern" bagi sebagian besar orang. Terlebih lagi, bagi mereka yang masih mereguk manisnya jabatan, posisi, dan kemulian-kemulian di lingkungannya.

Kebangkitan itu sendiri tidak identik dengan pelarian atas kepungan masalah atau kemadekan karier.

Tapi, "pribadi nan tercerahkan" adalah pilihan lain dari hidup. Siapa pun boleh hidup dengan pilihan apanya masing-masing.

Entah dengan terus menjunjung semangat bermimpi, menggelorakan keinginan, memancangkan cita-cita, dan memancarkan ambisi, untuk meraih kebahagiaan duniawi. Atau, mencoba meraih target kebahagiaan di alam lain. Terserah saja.

Dan, sosok seperti sang penulis naskah menyadari dan meyakini betul dengan buah yang bakal dipanennya di masa mendatang. Karena, ia merasa yakin bakal meraih kemuliaan lain di masa mendatang. Dengan muslim yang telah menjadi mukmin, dan dengan mukmim yang telah berganti jubah sebagai sang salik (penempuh jalan kesucian), maka hanya waktu saja yang akan membimbingnya untuk mendapati kemuliaan nan tak terbatas.

By: Pengajian Email


0 Comments: