Penulis: Ummu Muhammad
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar
Wahai saudariku, tahukah kalian siapa beliau? Beliau adalah Asma’ binti Yazid bin Sakan bin Rafi’ bin Imri’il Qais bin Abdul Asyhal bin Haris Al-Anshariyah Al Ausiyyah Al Asyhaliyah. Wanita mulia di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berbai’at kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun pertama Hijriyah, yaitu dalam bai’at Aqabah.
Asma’ radhiallahu ‘anha adalah termasuk shahabiyah Anshar yang pertama masuk Islam yang keilmuannya sangat luas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr bahwa Asma’ adalah seorang wanita yang cerdas dan bagus agamanya. Asma’ ikut aktif mendengar hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sering bertanya tentang persoalan-persoalan yang menjadikan dia paham urusan agama. Oleh karena itu, ia menjadi ahli hadits yang mulia, sehingga mendapat julukan “juru bicara wanita”. Asma’ dipercaya oleh kaum muslimah sebagai wakil mereka untuk berbicara dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang persoalan-persoalan yang mereka hadapi.
Suatu ketika Asma’ mendatangi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah utusan bagi seluruh wanita muslimah yang di belakangku, seluruhnya mengatakan sebagaimana yang aku katakan dan seluruhnya berpendapat sesuai dengan pendapatku. Sesungguhnya Allah mengutusmu bagi seluruh laki-laki dan wanita, kemudian kami beriman kepada anda dan membai’at anda. Adapun kami para wanita terkurung dan terbatas gerak langkah kami. Kami menjadi penyangga rumah tangga kaum laki-laki dan kami adalah tempat menyalurkan syahwatnya. Kamilah yang mengandung anak-anak mereka. Akan tetapi kaum laki-laki mendapat keutamaan melebihi kami dengan shalat Jum’at, mengantarkan jenazah, dan berjihad. Apabila mereka keluar untuk berjihad, kamilah yang menjaga harta mereka dan mendidik anak-anak mereka. Maka apakah kami juga mendapat pahala sebagaimana yang mereka dapat dengan amalan mereka?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh kepada para sahabat dan bersabda, “Pernahkah kalian mendengar pertanyaan seorang wanita tentang agama yang lebih baik dari apa yang dia tanyakan?”
Para sahabat menjawab, “Benar, kami belum pernah mendengarnya ya, Rasulullah!”
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kembalilah wahai Asma’ dan beritahukan kepada para wanita yang berada di belakangmu, bahwa perlakuan baik salah seorang di antara mereka kepada suaminya, upayanya untuk mendapat keridhaan suaminya, dan ketundukkannya untuk senantiasa mentaati suami, itu semua dapat mengimbangi seluruh amal yang kamu sebutkan yang dikerjakan oleh kaum laki-laki.”
Maka kembalilah Asma’ sambil bertahlil dan bertakbir merasa gembira dengan apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Muslim)
Kita lihat begitu semangatnya para shahabiah, hatinya senantiasa bergantung kepada akhirat. Tidaklah yang ia cita-citakan dalam seluruh amalnya kecuali ridha Allah Ta’ala sehingga ia merasa sangat gembira ketika diberitahu bahwa tugas yang selama ini ia lakukan pahalanya menyamai amalan kaum laki-laki yang sangat berat. Sungguh hal ini menunjukkan kemurahan Allah kepada hamba-Nya.
Asma’ juga pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tata cara mandi haidh, sebagaimana telah diriwayatkan dari ‘Aisyah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hendaklah seorang di antara kamu menyiapkan air dan air perasan bidara. Kemudian bersucilah dengannya dan membaguskan bersucinya. Kemudian menuangkan air ke atas kepalanya dan hendaklah ia menggosoknya dengan gosokan yang kuat hingga membasahi akar-akar rambutnya, lalu menuangkan air ke atasnya. Kemudian hendaklah ia mengambil sepotong kapas yang telah dibubuhi minyak wangi, lalu bersihkanlah dengannya.”
Lalu Asma’ bertanya lagi, “Bagaimana membersihkannya dengan kapas?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Subhanallah, bersihkanlah dengannya.”
‘Aisyah berkata, seolah-olah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan hal ini (karena malu), “Yaitu engkau membersihkan darah padanya.” (HR. Bukhari Muslim)
Begitulah saudariku, para shahabiyah sangat bersemangat untuk mencari ilmu agama. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk bertanya. Karena mereka tahu, hanya dengan ilmu, amalan mereka akan bernilai (mendapat pahala) di sisi Allah. Benarlah perkataan ‘Aisyah bahwa sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar, mereka tidaklah terhalang oleh rasa malu untuk mendalami urusan agama. (HR. Muslim)
Tentunya, kita ingin menjadi wanita terbaik bukan? Maka, contohlah para shahabiah. Belajarlah ilmu agama karena dengannya derajat kita akan ditinggikan dan jalan menuju surga akan dimudahkan. Semoga Allah senantiasa memudahkan bagi kita jalan menuju Ilmu. Aamiin.
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (Qs. Al Mujadilah:11)
“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya, dengan hal itu, jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Maraji’:
Wanita-Wanita Teladan di masa Rasulullah shallallahu ’’laihi wa sallam (Mahmud Mahdi Al-Istanbuli, Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi)
1 Comment:
Subhanallah...
Jazakallahu khoiro atas nasehatnya:)
Post a Comment