Ahlan Wa Sahlan
IQRO ( BACALAH )
Bacalah dirimu
Bacalah kejadian demi kejadian
Sungguh ALLOH telah memberimu berlimpah-limpah, dan tegak kanlah kebenaran itu dengan daya juang yang tak kenal payah dan henti
Selamat datang ana ucapkan kepada akhi dan ukhti, semoga apa yang tertulis di blog ini bermanfaat bagi kita dalam menSyiarkan Islam, serta sebagai media bagi kita untuk saling bersilaturahmi.
Kritik dan saran dapat di sampaikan ke is.majid@gmail.com
Wassalam
Senin, 14 November 2011
Mengokohkan Pijakan Keislaman
At Tauhid edisi VII/44
Oleh: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah. Amma ba’du…
Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah
berkata di dalam kitab Aqidah Thahawiyah, “Pijakan keislaman
(seseorang) tidak akan pernah kokoh kecuali apabila dibangun di atas
pondasi ketundukan dan penyerahan diri.” Imam Bukhari meriwayatkan dari
Imam Muhammad bin Syihab yang terkenal dengan julukan Az Zuhri rahimahullah
bahwa beliau mengatakan, “Sumber risalah adalah Allah. Kewajiban Rasul
adalah menyampaikan. Sedangkan kewajiban kita adalah bersikap pasrah dan
tunduk.”
Perumpamaan antara dalil akal dengan
dalil naqli adalah seperti orang awam yang muqallid (hanya mengikuti
orang lain) bersama seorang alim yang mujtahid. Apabila orang awam ini
mengetahui ada orang awam lain yang lebih tahu daripadanya maka dia pun
bertanya tentang suatu perkara kepadanya. Kemudian orang awam tadi
menunjukkannya supaya bertanya kepada seorang alim ahli fatwa. Kemudian
ternyata pendapat yang disampaikan oleh temannya yang awam itu berbeda
dengan fatwa dari ahli fatwa tersebut. Kalau seandainya temannya yang
sama-sama awam itu mengatakan, “Yang benar adalah pendapatku,
bukan pendapat si ahli fatwa. Karena akulah engkau bisa tahu bahwa dia
adalah seorang ahli fatwa. Sehingga apabila engkau lebih mengedepankan
pendapatnya daripada pendapatku maka itu artinya engkau telah merusak
kaidah dasar yang menjadi pijakanmu untuk bisa mengerti bahwa dia adalah
seorang ahli fatwa. Oleh sebab itulah maka hukum cabang yang kau
tetapkan juga keliru.” Maka temannya yang awam itu mengatakan, “Ketika
engkau persaksikan dan tunjukkan kepadaku bahwa dia adalah seorang ahli
fatwa maka itu berarti aku pun turut mempersaksikan kewajiban untuk
mengikutinya bukan mengikutimu. Sehingga persetujuanku denganmu dalam
hal ilmu itu tidak memberikan konsekuensi aku harus mengikuti pendapatmu
dalam semua masalah. Dan kekeliruanmu dalam persoalan yang bertentangan
dengan jawaban si ahli fatwa yang lebih berilmu darimu juga tidak
melahirkan konsekuensi kalau pengetahuanmu bahwasanya dia adalah ahli
fatwa menjadi salah.” Masya Allah!! kalau para muqallid masa kini bisa
berpikir sebagaimana muqallid ini maka tenteramlah dunia ini…
Akal yang sehat tentu mengetahui bahwasanya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah orang yang ma’shum (selalu terjaga dari salah) dalam hal
informasi yang disampaikannya dari Allah ta’ala, sehingga sabda beliau
tidak mungkin salah. Oleh karena itulah wajib bagi kita untuk bersikap
pasrah dan tunduk serta melaksanakan perintah-perintah beliau. Sebagai
umat Islam,
kita pun sudah sama-sama mengetahui secara pasti bahwasanya Al Quran
telah menegaskan kebenaran sabda-sabda Rasul. Oleh sebab itu apabila
Rasul memberikan informasi atau ketetapan tentang suatu perkara maka
wajib bagi kita untuk menerima dan melaksanakannya. Kita tidak bisa
menolaknya sembari beralasan bahwa apa yang beliau sampaikan itu adalah
sesuatu yang tidak masuk akal atau bertentangan dengan rasio kita. Sebab
pada dasarnya akal dan rasio kita telah yakin seratus persen bahwa
semua yang beliau sabdakan adalah kebenaran. Allah ta’ala berfirman,
“Dan dia tidaklah berbicara dari
dorongan hawa nafsunya, akan tetapi ucapannya tiada lain adalah wahyu
yang disampaikan kepadanya.” (QS. An Najm: 3-4)
Maka tidak mungkin diperbolehkan ada
orang yang mengatakan, “Wahai Nabi, sesungguhnya akal kami telah
memastikan bahwa sabda-sabda Anda adalah benar. Akan tetapi seandainya
kami menerima semua berita Anda maka itu akan menyebabkan terjadinya
pertentangan antara akal kami dengan apa yang anda sampaikan.” Ini
berarti orang yang mengucapkan pernyataan seperti ini pada hakikatnya
belumlah beriman secara penuh terhadap ajaran yang dibawa oleh Rasul,
dan Rasul pun tidak akan ridha dengan sikapnya itu. Karena sesungguhnya
akal dan rasio yang dimiliki oleh manusia itu berbeda-beda, sementara
kerancuan pemahaman atau syubhat yang menghinggapi pikiran manusia
sangatlah banyak jumlahnya. Terlebih lagi syaitan terus menerus berupaya
membisikkan berbagai was-was dan keragu-raguan kepada telinga manusia.
Lalu apa jadinya jika setiap orang diperkenankan untuk mengatakan
sebagaimana perkataan orang tadi; menolak sebagian sabda Nabi dengan
alasan tidak masuk akal?! Duhai, alangkah mengerikan akibatnya, karena
seluruh sendi ajaran Islam akan hilang dan runtuh seketika gara-gara
ulah akal-akal manusia yang rusak dan tidak menyadari keterbatasan
pikirannya!!! Laa haula wa laa quwwata illa billaah.
Allah ta’ala berfirman,
“Dan tidaklah kewajiban Rasul melainkan sekedar menyampaikan.” (QS. An Nuur: 54)
Allah ta’ala juga berfirman,
“Apakah ada kewajiban bagi Rasul selain memberikan keterangan yang gamblang?” (QS. An Nahl: 35)
Allah ta’ala berfirman,
“Dan tidaklah Kami mengutus seorang
Rasul pun kecuali dengan bahasa kaumnya, agar dia menjelaskan (wahyu)
bagi mereka. Sehingga Allah berhak menyesatkan orang yang
dikehendaki-Nya serta memberikan petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya.” (QS. Ibrahim: 4)
Dan ayat-ayat yang berbicara tentang hal
ini sangat banyak jumlahnya. Bahkan generasi terbaik umat ini pun telah
turut serta mempersaksikan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
benar-benar telah menunaikan amanah dan menyampaikan risalah dengan
sempurna dan gamblang. Sehingga ajaran Islam telah terang benderang,
malamnya sebagaimana siangnya, tiada yang menyimpang darinya kecuali
orang yang binasa. Beliau telah meminta persaksian para sahabat dalam
sebuah perhelatan akbar pada saat haji wada’ di tengah padang Arafah.
Dan para sahabat radhiallahu ‘anhum pun mengiakan dan
mempersaksikannya. Barang siapa yang mendakwakan bahwa ada salah satu
sendi ajaran agama apalagi itu termasuk prinsip dan landasannya kemudian
hal itu tidak diterangkan oleh Nabi dengan keterangan yang gamblang dan
sempurna maka pada hakikatnya dia telah berdusta atas nama beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, Wallaahul musta’aan (disadur dari Syarh ‘Aqidah Thahawiyah cet Darul ‘Aqidah, hal. 161-163 dengan beberapa penambahan dan pengurangan).
Sabda Nabi Adalah Wahyu
Abdullah bin Amr mengatakan, “Dahulu
aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam (karena) aku ingin menghafalkannya. Maka orang-orang
Quraisy pun menghalang-halangiku. Mereka mengatakan, “Sesungguhnya kamu
telah menulis segala sesuatu yang kamu dengar dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah manusia biasa. Beliau terkadang berbicara dalam keadaan
marah.” Maka aku (Abdullah bin Amr) menghentikan diri dari menulis
(hadits-hadits Nabi). Kemudian kejadian itu aku laporkan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda, “Tulislah! Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Tidaklah keluar dariku melainkan al haq (kebenaran).” (Hadits Shahih, dishahihkan Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 1196, lihat Tafsir Ibnu Katsir VII/340, cet. Maktabah At Taufiqiyah)
Syaikh Muhammad bin Husain Al Jizani hafizhahullah mengatakan, “Bila
ditilik dari sisi sumbernya, maka tidak diragukan lagi bahwa Al Quran
dan As Sunnah berada dalam kedudukan yang sama, karena masing-masing
merupakan wahyu dari Allah…” kemudian beliau menyebutkan ayat An Najm di atas (Ma’alim Ushul Fiqih ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah,
hal. 138). Beliau juga mengatakan, “As Sunnah (hadits) itulah yang
dimaksud dengan Al Hikmah (yang tercantum dalam ayat, red). Apabila
terdapat kata Al Hikmah di dalam Al Quran yang disebutkan secara
beriringan dengan kata Al Quran maka yang dimaksud (Al Hikmah di situ)
adalah As Sunnah dengan kesepakatan (ijma’/konsensus) ulama Salaf
(lihat Al Faqih wal Mutafaqih (1/87,88),Majmu’ Fatawa (3/366, 19/82,175), Mukhtashar Shawa’iq (443), Tafsir Ibnu Katsir (1/190,201,567) danWasilatul Hushul (9))
Hal ini seperti yang tercantum dalam firman Allah,
“Dan Allah telah menurunkan
kepadamu (Muhammad): Al Kitab dan Al Hikmah, dan Dia telah mengajarkan
kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan karunia Allah adalah sangat
besar atasmu.” (QS. An Nisaa’: 113)
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Yang kudengar dari keterangan para ulama Al Quran, mereka mengatakan bahwa Al Hikmah adalah Sunnah (hadits) Rasulullah.” (Ar Risalah, 78) (dinukil dengan sedikit perubahan dariMa’alim Ushul Fiqih ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 122)
Tidak Ada Iman Tanpa Ketundukan
Allah ta’ala berfirman,
“Demi Tuhanmu, sekali-kali mereka
tidaklah beriman sampai mereka berhakim kepadamu dalam segala yang
mereka perselisihkan kemudian mereka tidak mendapati rasa berat di dalam
diri mereka atas apa yang kau putuskan dan mereka pun menerimanya
dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisaa’: 65)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Artinya
(mereka tidaklah beriman) hingga mau menjadikan engkau (Muhammad)
sebagai hakim dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara
mereka…” Beliau jelaskan, “Dan itu artinya sampai mereka mau
menjadikan engkau saja (Muhammad) sebagai pemberi keputusan (hakim)
dalam menyelesaikan persengketaan yang ada di antara mereka, dalam
urusan-urusan agama maupun urusan-urusan dunia. Dalam urusan agama
misalnya apabila ada dua orang yang berselisih dalam menentukan hukum
suatu permasalahan syariat. Seorang di antara mereka berdua berkata,
“Itu adalah haram.” Sedangkan orang kedua berkata, “Itu halal.” Maka
untuk mencari keputusan hukumnya adalah kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Maka tidaklah seorang pun di antara mereka berdua (yang berselisih
tadi) dinyatakan beriman sampai mau berhakim kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian pula seandainya orang-orang berselisih dalam urusan dunia di
antara mereka…” Beliau melanjutkan, “Yang jelas seseorang tidaklah
dinyatakan beriman (dengan benar) hingga pencarian keputusannya dalam
urusan agama maupun dunia adalah kepada (keputusan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Kalau ada yang bertanya, “Bagaimanakah berhakim kepada Rasul sesudah
beliau wafat?” Syaikh Al ‘Utsaimin mengatakan, “Maka jawabannya ialah,
berhakim kepada beliau sesudah wafatnya ialah dengan cara berhakim
kepada Sunahnya shallallahu ‘alaihi wa sallam…” (Syarh Riyadhush Shalihin, I/587)
Beliau juga menjelaskan bahwa
berdasarkan ayat di atas ada 3 syarat yang harus dipenuhi di dalam diri
seseorang agar benar keimanannya, yaitu: Pertama, berhakim kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua, dia tidak boleh merasa sempit di dalam hatinya terhadap keputusan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ketiga, dia harus tunduk menerima sepenuhnya dan pasrah secara total
terhadap beliau. Beliau mengatakan, “Maka dengan ketiga syarat inilah
dia bisa menjadi mukmin. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi
maka bisa jadi dia keluar dari keimanan secara keseluruhan atau bisa
juga menjadi menyusut keimanannya. Wallaahul muwaffiq.” (Syarh Riyadhush Shalihin, I/589)
Kami Dengarkan dan Kami Taati
Allah ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya ucapan orang-orang
yang beriman apabila diajak untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya
agar Rasul itu memberikan keputusan hukum di antara mereka hanyalah
dengan mengatakan, “Kami mendengar dan kami taat.” Dan hanya merekalah
orang-orang yang berbahagia.” (QS. An Nuur: 51)
Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa sesungguhnya sifat orang yang benar-benar beriman
(yaitu yang imannya dibuktikan dengan amalan) apabila diajak untuk
kembali kepada Allah dan Rasul-Nya supaya Rasul memberikan keputusan di
antara mereka niscaya mereka akan mengatakan, “Kami dengarkan dan kami taati”,
sama saja apakah keputusan tersebut dirasa cocok ataupun tidak oleh
hawa nafsu mereka. Artinya mereka mendengarkan keputusan hukum Allah dan
Rasul-Nya serta memenuhi panggilan orang yang mengajak mereka untuk
itu. Mereka taat dengan sepenuhnya tanpa menyisakan sedikit pun rasa
keberatan. Hakikat kebahagiaan adalah bisa meraih perkara yang
diinginkan dan selamat dari bahaya yang ditakutkan. Dan Allah pun
membatasi kebahagiaan hanya ada pada orang-orang seperti mereka. Sebab
orang tidak akan pernah berbahagia tanpa berhukum kepada Allah dan
Rasul-Nya serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya (lihat Taisir Karim Ar Rahman, hal. 572)
Allah ta’ala berfirman,
“Dan tidaklah pantas bagi seorang
mukmin maupun mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan
suatu perkara kemudian mereka memiliki pilihan lain dalam urusan
mereka.” (QS. Al Ahzab: 36)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
mengatakan, “Ayat ini berlaku umum untuk semua urusan. Yaitu apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan sebuah keputusan maka tidak
diperbolehkan bagi siapa pun untuk menyelisihi hal itu. Dan tidak ada
lagi pilihan bagi siapa pun di sini (artinya agama tidak membiarkan dia
bebas memilih antara mengikuti Rasul atau tidak, red), tidak ada lagi
pendapat atau perkataan yang lain…” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, VI/257). Wallahu a’lam. [Abu Mushlih Ari Wahyudi]
sumber ; http://buletin.muslim.or.id
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Post a Comment