- Kafir mu’ahid yaitu orang kafir yang tinggal di negeri mereka sendiri dan di antara mereka dan kaum muslimin memiliki perjanjian.
- Kafir dzimmi yaitu orang kafir yang tinggal di negeri kaum muslimin dan sebagai gantinya mereka mengeluarkan jizyah (semacam upeti) sebagai kompensasi perlindungan kaum muslimin terhadap mereka.
- Kafir musta’man yaitu orang kafir masuk ke negeri kaum muslimin dan diberi jaminan keamanan oleh penguasa muslim atau dari salah seorang muslim.
- Kafir harbi yaitu orang kafir selain tiga jenis di atas. Kaum muslimin disyari’atkan untuk memerangi orang kafir semacam ini sesuai dengan kemampuan mereka. (Lihat Tahdzib Tashil Al ‘Aqidah Al Islamiyah, hal. 232-234)
Ahlan Wa Sahlan
IQRO ( BACALAH )
Bacalah dirimu
Bacalah kejadian demi kejadian
Sungguh ALLOH telah memberimu berlimpah-limpah, dan tegak kanlah kebenaran itu dengan daya juang yang tak kenal payah dan henti
Selamat datang ana ucapkan kepada akhi dan ukhti, semoga apa yang tertulis di blog ini bermanfaat bagi kita dalam menSyiarkan Islam, serta sebagai media bagi kita untuk saling bersilaturahmi.
Kritik dan saran dapat di sampaikan ke is.majid@gmail.com
Wassalam
Selasa, 03 Januari 2012
Interaksi dengan Non Muslim
At Tauhid edisi VII/50
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Setelah kami membahas berkenaan dengan
ucapan selamat natal, agar tidak disalahpahami, sekarang kami akan
utarakan beberapa hal yang mestinya diketahui bahwa hal-hal ini tidak
termasuk loyal (wala’) pada orang kafir. Dalam penjelasan kali
ini akan dijelaskan bahwa ada sebagian bentuk muamalah dengan mereka
yang hukumnya wajib, ada yang sunnah dan ada yang cuma sekedar
dibolehkan.
Para pembaca -yang semoga dirahmati oleh Allah- kita harus mengetahui lebih dulu bahwa orang kafir itu ada empat macam:
Adapun bentuk interaksi dengan orang kafir (selain kafir harbi) yang diwajibkan adalah:
Pertama: Memberikan
rasa aman kepada kafir dzimmi dan kafir musta’man selama ia berada di
negeri kaum muslimin sampai ia kembali ke negerinya. Dalilnya adalah
firman Allah Ta’ala,
“Dan jika seorang di antara
orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka
lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian
antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan
mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At Taubah: 6)
Kedua: Berlaku adil
dalam memutuskan hukum antara orang kafir dan kaum muslimin, jika mereka
berada di tengah-tengah penerapan hukum Islam. Dalilnya adalah firman
Allah Ta’ala,
“Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak
adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (QS. Al Maidah: 8)
Ketiga: Mendakwahi
orang kafir untuk masuk Islam. Ini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika
sebagian sudah mendakwahi mereka maka yang lain gugur kewajibannya.
Karena mendakwahi mereka berarti telah mengeluarkan mereka dari
kegelapan menuju cahaya. Hal ini bisa dilakukan dengan menjenguk mereka
ketika sakit, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjenguk anak kecil yang beragama Yahudi untuk diajak masuk Islam. Akhirnya ia pun masuk Islam.
Dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata, “Dulu pernah ada seorang anak kecil Yahudi yang mengabdi pada Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu suatu saat ia sakit. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjenguknya.
Beliau duduk di dekat kepalanya, lalu beliau mengatakan, “Masuklah
Islam.” Kemudian anak kecil itu melihat ayahnya yang berada di sisinya.
Lalu ayahnya mengatakan, “Taatilah Abal Qosim (yaitu Rasulullah) –shallallahu ‘alaihi wa sallam-”. Akhirnya anak Yahudi tersebut masuk Islam. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari rumahnya dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak tersebut dari siksa neraka.”( HR. Bukhari no. 1356)
Keempat: Diharamkan memaksa orang Yahudi, Nashrani dan kafir lainnya untuk masuk Islam. Karena Allah Ta’ala berfirman,
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.”
(QS. Al Baqarah: 256). Ibnu Katsir mengatakan, “Janganlah memaksa
seorang pun untuk masuk ke dalam Islam. Karena kebenaran Islam sudah
begitu jelas dan gamblang. Oleh karenanya tidak perlu ada paksaan untuk
memasuki Islam. Namun barangsiapa yang Allah beri hidayah untuk menerima
Islam, hatinya semakin terbuka dan mendapatkan cahaya Islam, maka ia
berarti telah memasuki Islam lewat petunjuk yang jelas. Akan tetapi,
barangsiapa yang masih tetap Allah butakan hati, pendengaran dan
penglihatannya, maka tidak perlu ia dipaksa-paksa untuk masuk Islam.”
(Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 1/682, Dar Thoyyibah, cetakan
kedua, tahun 1420 H)
Cukup dengan sikap baik (ihsan) yang kita perbuat pada mereka membuat mereka tertarik pada Islam, tanpa harus dipaksa.
Kelima: Dilarang memukul atau membunuh orang kafir (selain kafir harbi). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Siapa yang membunuh kafir mu’ahid
ia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu
tercium dari perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari no. 3166)
Keenam: Tidak boleh
bagi seorang muslim pun menipu orang kafir (selain kafir harbi) ketika
melakukan transaksi jual beli, mengambil harta mereka tanpa jalan yang
benar, dan wajib selalu memegang amanat di hadapan mereka. Karena Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Ingatlah! Barangsiapa berlaku
zholim terhadap kafir Mu’ahid, mengurangi haknya, membebani mereka beban
(jizyah) di luar kemampuannya atau mengambil harta mereka tanpa
keridhoan mereka, maka akulah nantinya yang akan sebagai hujah
mematahkan orang semacam itu.” ( HR. Abu Daud no. 3052, dinilai shahih oleh Al Albani)
Ketujuh: Diharamkan
seorang muslim menyakiti orang kafir (selain kafir harbi) dengan
perkataan dan dilarang berdusta di hadapan mereka. Jadi seorang muslim
dituntut untuk bertutur kata dan berakhlaq yang mulia dengan non muslim
selama tidak menampakkan rasa cinta pada mereka. Allah Ta’ala berfirman,
“Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al Baqarah: 83). Berkata yang baik di sini umum kepada siapa saja.
Kedelapan: Berbuat baik kepada tetangga yang kafir (selain kafir harbi) dan tidak mengganggu mereka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jibril terus menerus memberi wasiat kepadaku mengenai tetangga sampai-sampai aku kira tetangga tersebut akan mendapat warisan.” (HR. Bukhari no. 6014 dan Muslim no. 2625)
Kesembilan: Wajib membalas salam apabila diberi salam oleh orang kafir. Namun balasannya adalah wa ‘alaikum. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang dari Ahlul Kitab mengucapkan salam pada kalian, maka balaslah: Wa ‘alaikum.”( HR. Bukhari no. 6258 dan Muslim no. 2163)
Akan tetapi, kita dilarang memulai mengucapkan salam lebih dulu pada mereka. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Janganlah kalian mendahului Yahudi dan Nashrani dalam ucapan salam.” (HR. Tirmidzi no. 1602 dan Ahmad 2/266, dinilai shahih oleh Al Albani)
Adapun bentuk interaksi dengan orang kafir (selain kafir harbi) yang dibolehkan dan dianjurkan adalah:
Pertama: Dibolehkan mempekerjakan orang kafir dalam pekerjaan atau proyek kaum muslimin selama tidak membahayakan kaum muslimin.
Kedua: Dianjurkan
berbuat ihsan (baik) pada orang kafir yang membutuhkan seperti memberi
sedekah kepada orang miskin di antara mereka atau menolong orang sakit
di antara mereka. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Menolong orang sakit yang masih hidup akan mendapatkan ganjaran pahala.”( HR. Bukhari no. 2466 dan Muslim no. 2244)
Ketiga: Tetap menjalin
hubungan dengan kerabat yang kafir (seperti orang tua dan saudara)
dengan memberi hadiah atau menziarahi mereka. Sebagaimana dalilnya telah
kami jelaskan di atas.
Keempat: Dibolehkan
memberi hadiah pada orang kafir agar membuat mereka tertarik untuk
memeluk Islam, atau ingin mendakwahi mereka, atau ingin agar mereka
tidak menyakiti kaum muslimin. Sebagaimana dalilnya telah kami jelaskan
di atas.
Kelima: Dianjurkan bagi
kaum muslimin untuk memuliakan orang kafir ketika mereka bertamu
sebagaimana boleh bertamu pada orang kafir dan bukan maksud diundang.
Namun jika seorang muslim diundang orang kafir dalam acara mereka, maka
undangan tersebut tidak perlu dipenuhi karena ini bisa menimbulkan rasa
cinta pada mereka.
Keenam: Boleh
bermuamalah dengan orang kafir dalam urusan dunia seperti melakukan
transaksi jual beli yang mubah dengan mereka atau mengambil ilmu dunia
yang bernilai mubah yang mereka miliki (tanpa harus pergi ke negeri
kafir).
Ketujuh: Diperbolehkan
seorang pria muslim menikahi wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani)
selama wanita tersebut adalah wanita yang selalu menjaga kehormatannya
serta tidak merusak agama si suami dan anak-anaknya. Sedangkan selain
ahli kitab (seperti Hindu, Budha, Konghucu) haram untuk dinikahi.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
“Pada hari ini dihalalkan bagimu
yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab
itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan
dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS.
Al Maidah: 5). Ingat, seorang pria muslim menikahi wanita ahli kitab
hanyalah dibolehkan dan bukan diwajibkan atau dianjurkan.
Adapun wanita muslimah tidak boleh
menikah dengan orang kafir mana pun baik ahlul kitab (Yahudi dan
Nashrani) dan selain ahlul kitab karena Allah Ta’ala berfirman,
“Mereka (wanita muslimah) tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al Mumtahanah: 10)
Kedelapan: Boleh bagi
kaum muslimin meminta pertolongan pada orang kafir untuk menghalangi
musuh yang akan memerangi kaum muslimin. Namun di sini dilakukan dengan
dua syarat: (1) Ini adalah keadaan darurat sehingga terpaksa meminta
tolong pada orang kafir. (2) Orang kafir tidak membuat bahaya dan makar
pada kaum muslimin yang dibantu.
Kesembilan: Dibolehkan berobat dalam keadaan darurat ke negeri kafir.
Kesepuluh: Dibolehkan
menyalurkan zakat kepada orang kafir yang ingin dilembutkan hatinya agar
tertarik pada Islam, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus
zakat, orang-orang yang ingin dibujuk hatinya.” (QS. At Taubah: 60)
Kesebelas: Dibolehkan
menerima hadiah dari orang kafir selama tidak sampai timbul perendahan
diri pada orang kafir atau wala’ (loyal pada mereka). Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menerima hadiah dari beberapa orang musyrik. Namun ingat, jika hadiah
yang diberikan tersebut berkenaan dengan hari raya orang kafir, maka
sudah sepantasnya tidak diterima.
***
Inti dari pembahasan ini adalah tidak
selamanya berbuat baik pada orang kafir berarti harus loyal dengan
mereka, bahkan tidak mesti sampai mengorbankan agama. Kita bisa berbuat
baik dengan hal-hal yang dibolehkan bahkan dianjurkan atau diwajibkan
sebagaimana yang telah kami sebutkan di atas.
Semoga Allah selalu menunjuki kita pada jalan yang lurus. Hanya Allah yang beri taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
[Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal]
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
1 Comment:
Post a Comment