Ahlan Wa Sahlan

IQRO ( BACALAH )

Bacalah dirimu, Bacalah dari apa engkau dijadikan

Bacalah kejadian demi kejadian, Bacalah masa lalu, dan apa-apa yang ditinggalkan, Bacalah masa kini, dan apa-apa yang ada disekitarmu, Bacalah masa yang akan datang dan apa-apa yang akan dan tentu terjadinya.

Sungguh ALLOH telah memberimu berlimpah-limpah, dan tegak kanlah kebenaran itu dengan daya juang yang tak kenal payah dan henti ( sabar),......................

Selamat datang ana ucapkan kepada akhi dan ukhti, semoga apa yang tertulis di blog ini bermanfaat bagi kita dalam menSyiarkan Islam, serta sebagai media bagi kita untuk saling bersilaturahmi.

Kritik dan saran dapat di sampaikan ke is.majid@gmail.com

Wassalam

AddThis

Bookmark and Share

Selasa, 16 September 2008

Manusia Dan Hijrah

Ada yang menyebutkan second born is in fourty.
Usia 40 dianggap merupakan saat kelahiran kedua.
Kalangan ahli tasawuf menyebutnya sebagai usia di persimpangan.
Usia yang memaksa pemiliknya menentukan pilihan; menjadi kaum muttaqin, menjadi kaum kafir, atau kaum munafik ?
Pilihannya cuma tiga, tapi memilihnya susah.
Menjadi kaum muttaqin atau orang-orang taqwa, maka ia harus sudah memperbaiki akhlak, menyempurnakan prilaku dan sikap, meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah, memperbanyak zikir, menambah terus kebajikan-kebajikan, dan itu sama artinya, dengan menapaki maqom-maqom spiritual untuk mendekatiNya.
Tujuannya, apalagi kalau bukan mempertajam kualitas dan kuantitas syariat, melakoni tarekat, melarutkan diri dalam hakekat, hingga mencapai ma'rifat. Kalau menjadi kaum kafir, mudah saja, berbuat saja hal-hal yang dilarang dan tidak disukai oleh Allah.
Langgar saja firman Allah dan hadits Rasulallah saw. Berpikirlah terus tentang duniawi. Sahlah kekafirannya.
Sedangkan menjadi kaum munafik, maka sama artinya dengan memasuki kehidupan dengan kepribadian-ganda. Senantiasa berupaya menjalani kaum apa saja. Sah untuk berbuat apa saja. Halal men sayakan apa saja. Yang penting, tujuan pribadi tercapai.
Sedikit basa-basi, berpura-pura menyukai orang lain, bersandiwara, akting, dan larut dalam kebohongan, jadi tampilan setiap waktu. Naudzubillah.
Sabda Baginda Rasulallah saw mungkin bisa bahan renungan,
"Tidak ada kebajikan yang lebih utama setelah iman selain mendatangkan manfaat bagi orang lain; dan tidak ada kejelekan yang lebih jahat setelah musyrik selain mendatangkan kesengsaraan pada orang lain."
Pada kesempatan lain, Baginda Rasulallah saw juga mempertajam sabdanya tentang kaum munafik yang membantu berbuat zalim,
"Barang siapa berjalan bersama orang zalim dan membantunya, padahal ia tahu orang itu zalim, ia telah keluar dari Islam."
Hijrah artinya berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk tujuan tertentu. Bagi sejarah Islam, hijrah artinya kepindahan Rasulallah saw dan pengikutnya dari Mekah ke Madinah, untuk menghindari pertikaian dengan kaum Quraish dan mengembangkan syiar Islam.
Bahasa sederhananya, migrasi untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Intinya, ada kata "pindah".
Namun, makna "hijrah" bagi individu-individu yang tercerahkan benar-benar tidak dalam konteks dhahir atau fisik.
Tapi, di dalam dirinya sendiri.
Hijrah hati dan jiwa, maksudnya.
Kinilah, saatnya berpindah hati dari penikmatan masalah manusia ke masalah Tuhan.
Kinilah, saatnya berpindah jiwa dari dominasi ruh manusia (nasut) menjadi ruh Ilahiyah (lasut).
Intinya, hati dan jiwa yang berhijrah. Fisik dan jasad tetap di tempatnya.
Kalau dalam konteks Tasawuf Sunda, hijrah itu memulai langkah baru untuk nyandung.
Dalam konteks Budaya Sunda, kata tersebut memang berkonotasi negatif, yakni poligami.
Beristri lebih dari satu – seperti disampaikan dalam surat An-Nisa ayat 3.
"Dan, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat." (QS An Nisa: 3)
Namun, makna "nyandung" yang dimaksud dalam konteks Tasawuf Sunda, justru sama sekali tidak berhubungan dengan perkawinan.
Apalagi, untuk beristri lebih dari satu atau poligami.
Tapi, kita justru dituntut untuk menambah tingkatan keimanan. Bila semula tingkatan keimanan dan ibadah berada berada dalam wilayah syariat, maka kini harus segera bergeser ke wilayah tarekat. Setelah itu, memasuki wilayah hakekat. Puncaknya, menggapai wilayah ma'rifat untuk menjadi insan kamil. Manusia yang sempurna.
Maka, "istri" kedua, ketiga, dan keempat itu adalah tarekat, hakekat, dan ma'rifat!
Wujud hijrahnya sendiri adalah pelaksanaan Rukun Islam secara hakekat – martabat ketiga setelah syariat dan tarekat.
Tingkatan ini berada dalam tahapan tahali. Sedangkan pencapaiannya adalah maqom fana (peleburan diri pribadi ke dalam Diri Pribadi).
Pada bagian ini, pelaksanaan Rukun Islam sudah melebihi apa-apa yang dilakukan di martabat sebelumnya.
Ya, secara syariat dan tarekat secara total. Fokus pelaksaanaan ibadah pada tingkatan tersebut adalah rasa – pengertian awam adalah "perasaan" (sesuatu yang abstrak, bisa kita ungkap tapi tidak bisa ditunjukkan).
Namun, dalam kajian Ilmu Tasawuf, rasa sama dengan jiwa (nafs). Yakni, upaya sang Salik untuk memberdayakan jiwanya, agar selalu tertuju kepada Yang Mahakuat.
Maka, "JIWA" kita sendirilah yang menjadi kiblat seluruh peribadatan kita. Karenanya, rasa atau jiwa harus selalu memelihara sabar, syukur, ikhlas, ridha, dan tawakal. Diri pribadi ini jangan lagi memperbanyak keinginan, mengingat apa yang pernah diperbuat, dan tidak menyakiti makhluk lain (karena mereka pun merupakan pengejewatahan dari Yang Mahapencipta), serta tidak lagi mengikuti bisikan-bisikan yang mengarah pada persoalan duniawi.
Tiba-tiba saya teringat akan buku-buku tentang Syekh Siti Jenar atau Hussein Al-Hallaj.
Keduanya diakui sebagai orang-orang suci, orang-orang yang larut akan cinta-kasihNya.
Namun, keduanya justru berdoa, agar hidupnya dinistakan dan dicampakkan. Sehingga, mereka berharap bisa menjauhi kehidupan duniawi dan kemashuran sesaat. Doa itu memang tercapai. Di akhir hidupnya, mereka mendapatkan dambaan tentang penistaan dan pencapakkan itu. Semuanya itu adalah kuasaNya.
Malah, mereka mangkat seakan bukan sebagai orang-orang terhormat, wali atau sang pelindung, atau kekasih Allah.
Tapi, sebatas sebagai manusia biasa yang hina-dina. Subhanallah.
Tapi, mereka menjalaninya dengan kesabaran, keikhlasan, keridhaan, kezuhudan, ketawakalan, ketasliman, kefanaan, dan kemahabbahan, yang teramat-sangat. Mereka memang larut dalam suasana penyerahan diri total, hidup apa-adanya, dan atmofir mabuk cinta terhadap Allah swt secara dasyat.
Kembali fokus pada masalah hakekat. Maka, imbas yang harus dimunculkan, tentu saja, tidak ada lagi keresahan, kegamangan, kegalauan, kekecewaan, sakit hati, iri, dengki, pesimis, apatis, mudah berburuk-sangka, apalagi putus asa.
Sebaliknya, tetap berakhlak mulia, semangat, optimis, berbaik-sangka pada siapa pun, dan menikmati hidup dengan suka cita. Kebangkitan itu sendiri tidak identik dengan pelarian atas kepungan masalah atau kemadekan karier.
Tapi, "pribadi nan tercerahkan" adalah pilihan lain dari hidup ini.
Siapa pun boleh hidup dengan pilihan apanya masing-masing.
Entah terus menjunjungi semangat mimpi, keinginan, cita-cita, dan ambisi, untuk meraih kebahagiaan duniawi.
Atau, mencoba meraih target kebahagiaan di alam lain. Terserah saja.
Dan, sosok individu-individu yang tercerahkan menyadari dan meyakini betul dengan buah yang bakal dipanennya di masa mendatang. Karena, mereka memang bakal meraih kemuliaan lain setelah menuntaskan perjalanan tahapan tahalinya. Puncak seluruh perjalanan itu adalah tahapan tajjali untuk menikmati maqom mahabbah (cinta). Dengan muslim yang telah menjadi mukmin, dan dengan mukmim yang telah berganti jubah sebagai sang Salik, maka hanya waktu saja yang akan membimbingnya untuk mendapati hakekat stasiun spiritual tersebut, mahabah. Cinta nan tak terbatas kepada Yang Mahamencintai.
Persisnya, setelah ia bisa setiap saat berma'rifat atau menyaksikan secara langsung adaNya dan rasulNya.
Inilah hakekat syahadat yang sebenarnya. Kesaksikan yang memang nyata menyaksikan. Bukan sekedar mengucapkan hafalan.
Utamanya, ia telah memiliki kunci untuk membuka pintu berma'rifat. Yakni, pintu untuk menggapai Nur Muhammad dan Johar Awal.
Nur Muhammad adalah simbolisasi cahaya-cahaya yang membentuk manusia, yang juga menjadi arah untuk mendapati simbol Cahaya di atas Cahaya.
Para pengikut kelompok tarekat meyakini, momen tersebut merupakan perlambang pencapaian perjalanan spiritualnya, sekaligus membuktikan Dia Yang Maha mengawasi selalu mengawasi kita. Subhanallah.
Bagaimana dengan pelaksanaan Rukun Islam di tahapan ini ?
Sejatinya, tahapan ini adalah buah dari perjalanan panjang nan melelahkan itu.
Sehingga bisa dikatakan, dengan mengamalkan Rukun Islam secara syariat, tarekat, dan hakekat, maka kita pun bisa meraih ma'rifat. Sekaligus merasakan harumnya maqom mahabah. Dan, menempatkan diri pribadi pada singgasana tajjali. Subhanallah.
Inilah buah hijrah yang didapat secara sabar, maqom per maqom, tahapan per tahapan, dengan pelaksanaan Rukun Islam yang secara syariat dan tarekat, bahkan hakekat.
Serta, tentu saja, istiqomah untuk terus-menerus melaksanakannya.
Takhali menghadirkan wara dan zuhud.
Tahali menghadirkan taslim dan fana.
Dan, tajjali menghadirkan mahabbah.
Ah, indahnya perjalanan hijrah itu.
Bercengkerama dalam suasana cinta dengan Allah semata, Dzat Yang Maha sempurna.

0 Comments: