Di sekeliling kita, utamanya di tengah suasana dunia kerja, masih adakah orang-orang yang memperlihatkan keperkasaannya dengan cara mengalah ?
Ya, menghadapi setiap cobaan, persoalan, atau ujian, justru dengan bertawakal. Memasrahkan keputusan atau kebijakan apa pun sebagai anugerah atau rezeki dariNya.
Di sebuah perusahaan farmasi, seorang brand manager bernama Helmi rajin mengajak teman-temannya berdiskusi tentang agama.
Buku-buku dan print-out hasil browsing tentang masalah tauhid itu pun menumpuk di mejanya.
Sehingga tidak jelas lagi, sebenarnya ia tengah bekerja atau memanfaatkan ruang kerja untuk mengaji ?
Padahal, ia tidak sedang diparkir atau masuk kotak. Kesibukannya juga sangat banyak.
Maklum, ia merupakan manejer untuk memasarkan produk-produk farmasi ethical dan OTC.
Ethical merupakan jenis obat yang diresepkan, sedangkan OTC merupakan jenis obat yang dijual bebas.
Tapi, ia tetap saja meluangkan banyak waktu dan memfaatkan kesempatan sebisa-bisanya, untuk melengkapai wawasan agama. Dan, sedapat mungkin berwasiat juga tentang kebenaran dan kesabaran kepada karyawan lain.
Tanpa bermaksud riya, kerap ia bertanya, apakah ia telah "berlagak" seperti sufi ?
Sufi itu sendiri sekedar istilah untuk menggambarkan perjalanan seseorang dalam menyucikan akhlak dan tingkatan spiritualnya. Tanpa disebut nyufi, sebenarnya sosok seperti Helmi sudah "mendapatkannya".
Mengamalkan apa yang disebut ajaran tasawuf atau ajaran penyucian akhlak.
Menunjukkan prilaku dan sikap terpuji, tidak menyakiti orang, dan senang berbuat kebajikan.
Dari segi ibadah, ia sudah melakukannya dengan di atas rata-rata. Melaksanakan shalat fardhu dan shalat sunnah secara kontinyu dan tepat waktu. Praktik nawafil. Shalat sunnah pun dianggap seperti shalat fardhu. Termasuk juga zikir-zikirnya. Lengkap sudah.
Gambaran tentang Helmi, tentu berbanding terbalik dengan teman-teman sejawatnya, yang lebih asyik berdiskusi dan berdebat ketimbang mengamalkan pemahamannya. Kenyataannya, memang banyak orang yang merasa pintar tasawuf, diskusi di sana-sini, dan bergaya seperti sufi. Padahal, maaf, cuma akting. Ya, pseudosufisme, sufi-sufian.
Bagaimana pula dengan keikutsertaan dalam kelompok tarekat ?
Pada kenyataannya, praktik para sufi memang identik dengan peleburan diri dalam kelompok tarekat tertentu.
Karena sang salik (penempuh jalan kesucian) memang membutuhkan kendaraan untuk mencapai tujuannya.
Buah dari keterlibatan itu, maka kita pun dituntut untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah.
Bila di hari-hari kemarin, kita begitu patuh dan taat untuk menjalankan shalat fardhu dan shalat sunnah, maka setelah masuk kelompok tarekat kita akan diperkenalkan dengan shalat tarekh dan shalat daim.
Shalat tarekh adalah ibadah yang diharapkan bisa berma'rifat atau mengenal Yang Maha pencipta.
Sedangkan shalat daim adalah shalat sepanjang waktu, yang dilakukan selagi mata kita terbuka.
Praktiknya sama dengan zikir khofi. Zikir dalam hati.
Maknanya, merupakan upaya untuk terus mengingat adaNya dan kuasaNya. Atau, eling dalam filosofi Jawa.
Orang-orang yang tergabung dalam kelompok tarekat sama artinya dengan menceburkan diri dalam penyucian hati secara total. Mereka juga akan terus meniti perjalanan ibadahnya secara maksimal. Sehingga, mereka bisa mencapai tujuan sebagai manusia yang sempurna. Insan kamil.
Dengan shalat daim sama artinya dengan shalat sepanjang waktu. Sepanjang detik hanya menyebut namaNya.
Penyerahan diri secara kaffah. Total.
Dengan begitu, mereka pun harus benar-benar menjaga prilaku dan sikapnya, karena mereka merasa terus diawasi oleh Yang Mahamengawasi.
Dengan shalat tarekh, mereka berharap terus bisa menikmati cahayaNya. Terus berma'rifat.
Mereka itulah yang mencoba merasakan atmosfir shalatnya orang mu'min adalah ma'rifat.
Dari segi syariat, ada ulama yang berpendapat, dengan seseorang merasa sebagai sufi, maka pelaksanaan ibadah syariatnya jadi lebih hebat. Secara kualitas maupun kuantitas.
Ilmu Tasawuf bukanlah sekedar ilmu pengetahuan. Ilmu Tasawuf bukan sekedar pelajaran tauhid.
Tasawuf juga bukan hanya teori soal proses penyucian akhlak dan totalitas ibadah.
Tapi, di dalamnya memang terdapat proses panjang, untuk menapaki maqom-maqom spiritual.
Stasiun-stasiun pencapaian spiritual.
Ada ulama yang berpendapat, tasawuf dibagi dua; yang amaliah dan filsafat.
Tasawuf Amaliah menekankan pada totalitas penyucian akhlak serta kualitas dan kuantitas ibadah.
Ya, dengan praktik nawafil seperti yang diperlihatkan oleh Baginda Rasulallah Muhammad saw.
Kelompok ini menyandarkan pada pemurnian ajaran Al-Qur'an dan hadits, dan tidak membaurkan dengan pengaruh lokal atau budaya setempat.
Sebaliknya dengan Tasawuf Filsafat, yang lebih menekankan pada totalitas penyucian akhlak, tapi tidak mengharuskan pengikutnya menjalankan praktik syariat. Bukan berarti mereka tidak melaksanakan shalat. Karena, sesungguhnya mereka menjalankan apa yang disebut shalat tarekh dan shalat daim, tanpa berhenti sedikit pun.
Sedangkan shalat fardhu atau shalat sunnah tidak perlu dilakukan lagi.
Perumpamaannya adalah, jika Tasawuf Amaliah menuntut pengikutnya, untuk membuka serabut buah kelapa, membuka batoknya, mengolah dagingnya, hingga memanfaatkannya sebagai santan.
Membuka serabut kelapa sama dengan syariat. Mengupas batok kelapa sama artinya dengan "jalan" menuju daging atau tarekat. Mendapatkan dan mengolah daging sama maknanya dengan meraih bentuk kelapa yang sebenarnya atau hakekat.
Dan, bentuk akhirnya yang santan adalah makna dari pencapaian itu sendiri atau ma'rifat.
Sedangkan bagi pengikuti Tasawuf Filsafat, mereka melakukan "potong kompas" dengan langsung mengupas batok, mengolah daging, dan merasakan nikmatnya santan. Mereka meyakini, untuk tidak perlu lagi membuka serabut.
Karena, hal itu sifat dhahir atau lahiriah saja. Bahasa gampangnya, sekedar mengikuti seremonial atau upacara rutin saja.
Helmi dengan kesibukan berburu pengetahuan agama (di sela-sela kesibukannya di kantor), bisa jadi, tak berbeda jauh dengan saudara-saudara kita, yang telah tercerahkan dan makin haus dengan wawasan ketauhidan dan ma'rifat.
Perbedaan mencoloknya, Helmi tengah berada di posisi yang sangat baik dan dimuliakan. Tapi, ia justru tetap istiqomah menjadi insan yang tercerahkan, dan terus bertekad menyempurnakan penitian maqom-maqom spiritualnya.
Jauh sebelum Helmi mendapat kemuliaan dan surga yang didapatnya sekarang, ia pun pernah digempur persoalan-persoalan di lingkungannya. Kerja keras yang lebih dari 15 tahun, untaian prestasi yang ditorehkannya bertahun-tahun, justru sempat mengantarkannya ke "pos pembuangan" bernama Market Development Department.
Sejatinya, departemen itu merupakan penampungan untuk karyawan yang dianggap tidak lagi produktif.
Atau, semacam litbang.
Namun, Helmi menjalani dengan kesabaran nan tiada tara. Tiga tahun berada di pos tersebut, ia terus beristiqomah bersabar seraya mensyukuri apa-apa yang didapatnya. Berpasrah diri atas apa-apa yang didapat. Bahkan, dalam keterasingan dan ketiadaberdayaannya itu, ia justru menghasilkan ide-ide brilian yang mendukung penjualan produk-produk departemen lain.
Perhatian dan nilai lebih pun menjelma menjadi anugerah. Sehingga, ia pun merasakan kemuliaan yang teramat sangat.
Dan, melengkapi perjalanan bersabar dan bersyukur yang dirintisnya sejak tiga tahun silam, ia pun makin istiqomah bertawakal. Segala prilaku dan sikap merupakan cerminan akhlak yang senantiasa bersabar dan bersyukur, serta mengalah apa apa yang dianggap keputusanNya. Bunga inspirasi yang dihadirkannya adalah upaya yang tak kenal lelah untuk istiqomah bertawakal.
Dengan posisinya yang telah mapan, ia pun tengah mencoba menghijaukan sekelilingnya dengan iman dan tauhid.
Serta mengembangkan dengan sepenuh hati amanah sabda Baginda Rasulallah saw, untuk terus berwasiat tentang kebenaran dan kesabaran. Subhanallah.
Kita abaikan untuk sementara dampak atau hasil. Karena, hal itu akan berpulang kembali pada kuasa Allah.
Yang pasti, manusia wajib berikhtiar. Termasuk dalam syiar Islam dan berwasiat tentang kebenaran dan kesabaran tadi.
Namun, niat, tekad, dan usaha, yang mereka kembangkan, sesungguhnya keinginan yang menggebu untuk membangun surga yang hakiki. Surga yang berlandaskan Islam, Iman, dan Ihsan..
Dengan tangan kecilnya, Helmi berharap terjadi perubahan pula di lingkungan kerjanya. Siapa tahu hidayah demi hidayah menyapa atasannya, teman-teman kerjanya (bahkan yang dulu memusuhinya), dan juga teman-teman lain yang sejalan.
Sehingga, lingkungan kerja itu bakal menjadi lebih sejuk dan menetramkan.
Ia bukan hanya menikmati kenyamanan Islam sebagai kendaraan untuk menapaki jalan lurus. Tapi, ia justru makin melarutkan diri dengan kedalaman ajaran Islam itu sendiri, untuk menjangkau surga yang sebenar-benarnya. Surga di dunia dan akhirat.
Maka, semoga saja, orang-orang semacam Helmi ikut bergembira dengan jubah ketawakalannya.
Sementara di tempat berpijak yang lain, kita masih sering mendengar cerita tentang orang-orang yang masih digoda banyak pilihan. Baik menyangkut persoalan duniawi maupun masalah akhirat. Masing-masing pun memiliki dampak yang berbeda-beda bagi perjalanan hidup kita. Yang pasti, selama diri kita masih disibukkan keinginan-keinginan untuk memecahkan persoalan duniawi, maka tekad untuk mendapatkan kemuliaan di hadapanNya, jadi sulit. Allah akan memalingkan wajahnya kepada kita, jika kita tidak mengarahkan wajah kita kepadaNya. Semuanya berpulang dari kita.
Jangan berpikir atau berburuk-sangka, Allah tidak akan menegur dan memperingatkan kita atas segala kekeliruan atau kealpaan.
Itu keliru. Karena pada dasarnya, kita tidak pernah sadar dan mengerti bahwa Allah senantiasa memperhatikan kita.
Tapi, justru kitanyalah yang tidak pernah menandai setiap cobaan atau ujian sebagai teguran. Apalagi hidayah.
Seyogyanya diri ini tidak terlalu larut dengan masalah-masalah duniawi. Kita tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tapi, pikiran dan hati mesti terus diarahkan kepadaNya secara total.
Jangan berpikir terlalu berlebihan tentang jabatan, kedudukan, posisi, gaji, atau fasilitas.
Jangan terlalu berburuk-sangka juga pada atasan atau teman-teman kerja.
Tapi, saatnya juga merubah akhlak.
Menampilkan citra diri yang bisa menjadi teladan bagi orang lain.
Minimal, istri dan anak-anak kita.
0 Comments:
Post a Comment